Puisi-puisi Ni Putu Ayu Yogi Ardhaningsih


Ni Putu Ayu Yogi Ardhaningsih, lahir di Mengwi, Bali, 3 Februari 2000, lulusan Sastra Jepang Universitas Udayana.

Pertigaan

Jalanan tanpa belas kasih

Pengendara tertatih

Hatiku tersepih

Darahku mendidih

Aku terpisah

Dengannya yang tidak bisa

Kulihat dua kali

Atau mungkin berkali-kali

Berkat dari kebetulan

Aku bisa melihat senyumnya

Mengucapkan selamat pagi

Lalu pergi tampak enggan menyapa kembali

Baca juga: Puisi-puisi Raudal Tanjung Banua

Menjijikkan

Lorong kelas sempit, penuh euforia

Sesekali mereka berbisik tentang cinta

Entah itu cinta karena tampang yang fana

Atau cinta pada dompet yang berlagak

Seperti puing-puing keresahan yang tak diinginkan

Mereka berkeliaran, melayang tanpa beban

Bukan bahagia, justru muak yang kurasakan

”Cinta itu menjijikkan”

Ah tapi aku terjebak dalam bayangnya

Aku memikirkannya, sedang ia tidak, curang!

Aku kesal, kumarahi kumbang

Aku gundah, ku ganggu lintah

Baca juga: Puisi-puisi Joko Rabsodi

Hanyut

Kicauan burung mengantar pesan

Dia tak suka jurusan pilihannya

Selalu hanyut dalam huruf yang terbang

Senyum terbungkus, terhina oleh kata

Daun berguguran, angin membisu

Mendung membendung kata dalam kalbu

Ruang baca memilih acuh

Aku tergoda oleh waktu

Baca juga: Puisi-puisi Nuryana Asmaudi SA

Jam

Jam berdetak pada senja yang hening

Waktu membisu, kenyataan merentang

Jarum jam runcing menggores hati

Dalam tangis semua kuperlihatkan

Selucunya kisah raja

Tertipu penenun antah berantah

Katanya hanya orang pintar bisa melihat baju agung raja

Nyatanya, menahan malu bertelanjang

Hatiku tetap getir

Rasanya pahit meski dengan tabir

Lingkaran sendu tanpa akhir

Menghujam dada hingga akhir

Baca juga: Puisi-puisi Sunardi KS

Beranda Itu

Hujan berlalu meninggalkan tirai embun

Sakit demam tidak mengizinkanku melewati pertigaan kampus

Matahari menyelinap menembus embun

Daun-daun berbisik riuh perlahan

Matahari itu datang dengan nyata

Motornya butut namun masih berwibawa

Dia berdiri di ambang pintu

Sambil membawa catatan dalam buku

Beranda itu menjadi terang

Harapan yang baru saja datang

Mentari setelah hujan, nyawaku panjang

Bolehkah aku sedikit melayang?

Baca juga: Puisi-puisi Nafi’ah al-Ma’rab

Plafon

Di kamar yang sunyi kupejamkan mata

Tidak bisa tidur, perih rasanya

Plafon membuka layar, cerita tanpa kata

Menyusun segala diorama cinta

Perasaan ini terus menghujam

Waktu beberapa kali mengingatkan penyesalan

Harga diri yang mulai melemah

Perasaanku mulai bertumpah ruah

Di bawah plafon, aku dan bayangan

Berdialog tentang harapan yang tak pasti

Tanganku bergerak ke arah kiri

Mengambil ponsel yang sedari tadi menanti

Kata-kata lepas dari kepalaku

Aku kehilangan arah, kini buntu

Kuucapkan tiga kata

Semoga sang matahari membuka rasa

Pagi Hari

Pagi ini hawa dingin menghindar

Nyamuk tertidur

Harum jempiring tak tercium

Cakar kucing seperti tumpul

Ah iya, bagaimana jawaban kemarin?

Kulihat namanya

Satu pesan

Namun merontokkan seluruh badan

Kabut kekecewaan terlalu pekat

Rasanya sinar mentari masuk melalui sekat

Tapi mataku tak mengelak

Biarlah terbakar kelak


Dilansir dari dan telah tayang di: https://www.kompas.id/baca/sastra/2024/04/25/puisi-puisi-ni-putu-ayu-yogi-ardhaningsih?open_from=Section_Terbaru