Sirih china berpotensi mengatasi luka yang terlalu kering dan memunculkan keloid. Kajian masih terus dilakukan.
Uji praklinik membuktikan tanaman sirih china, Peperomia pellucida , sangat manjur dalam penyembuhan luka. Tanaman yang sudah lama digunakan untuk pengobatan tradisional ini memiliki efek anti-inflamasi, analgesik, dan antimikroba. Tanaman yang tumbuh liar di seluruh penjuru Nusantara ini dapat mengubah paradigma penanganan luka.
Dr dr Arya Tjipta SpBP-RE Subsp KM(K) memaparkan hasil penelitian tentang sirih china sebagai obat luka dalam konferensi tahunan Asosiasi Penanganan Luka Eropa (European Wound Management Association/EWMA), di London, awal Mei 2024.
”Masalah yang paling sering muncul dalam penyembuhan luka di Indonesia adalah luka terlalu kering, muncul keropeng, hingga keloid. Sirih china berpotensi mencegah luka keropeng karena menjaga luka tetap lembap,” kata peneliti sirih china Dr dr Arya Tjipta SpBP-RE Subsp KM(K), di Medan, Jumat (31/5/2024).
Dalam setahun terakhir, Arya memimpin tim untuk meneliti kemanjuran tanaman sirih china terhadap penyembuhan luka. Hasil penelitiannya dipaparkan dalam konferensi tahunan Asosiasi Penanganan Luka Eropa (European Wound Management Association/EWMA) di London, awal Mei lalu.
Kemanjuran Peperomia pellucida dalam terapi penyembuhan luka menarik perhatian para ahli bedah plastik dan rekonstruksi yang hadir dalam pertemuan itu. Penelitian praklinik menunjukkan potensi Peperomia pellucida sebagai terapi yang menjanjikan dan efektif meningkatkan penyembuhan luka. Sifat penyembuhan luka yang meningkat disebabkan penggabungan efek anti-inflamasi, antioksidan, dan antimikroba dalam Peperomia pellucida.
DOKUMENTASI ARYA TJIPTA Tanaman sirih china atau Peperomia pellucida.
Tim peneliti yang terdiri dari sembilan orang itu melakukan penelitian di laboratorium Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. Mereka menggunakan sirih china dalam bentuk nanoemulsi Peperomia pellucida (PPNE). Tanaman sirih china diekstraksi menggunakan metode ultrasonikasi energi tinggi dan dibuat dalam bentuk jeli. Sirih china yang digunakan dalam penelitian diambil dari Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo, Sumut.
PPNE diuji coba untuk memperbaiki dan menyembuhkan luka bakar pada hewan coba berupa 60 ekor tikus wistar masing-masing berbobot 300 gram. Dengan menggunakan pelat panas, tim membuat luka bakar 30 persen di punggung tikus.
Hewan coba itu lalu dibagi dalam tiga kelompok, yakni kelompok kontrol (tidak diberi perlakuan), diberi perlakuan silver sulfadiazine (SSD), dan dirawat dengan PPNE. Hasil penelitian menunjukkan, pengobatan PPNE secara signifikan mempercepat penutupan luka dibandingkan dengan kelompok kontrol dan kelompok yang diobati dengan SSD.
Pada kelompok yang diobati dengan PPNE, penutupan luka lengkap dicapai pada hari ke-10. Pemeriksaan histopatologi yang melihat anatomi struktur sel dan jaringan lebih detail menunjukkan re-epitelisasi (proses sel epitel menutup luka), pembentukan jaringan granulasi, dan deposisi kolagen pada luka yang dirawat dengan PPNE jauh lebih baik.
Pengobatan PPNE juga mengurangi tingkat sitokin inflamasi dan meningkatkan aktivitas enzim antioksidan secara signifikan. PPNE mengurangi peradangan dan stres oksidatif pada luka yang dirawat.
Baca juga: Kearifan Masa Lalu, Modal Hadapi Tantangan Masa Depan
KOMPAS/NIKSON SINAGA Dr dr Arya Tjipta SpBP-RE Subsp KM(K), di Medan, Jumat (31/5/2024).
Arya menyebut, PPNE tidak hanya untuk penyembuhan luka bakar, tetapi juga luka lainnya seperti luka robek. Penyembuhan luka bakar jauh lebih rumit karena kehilangan kulit, lemak, hingga rambut. ”Kalau luka bakar saja bisa sembuh, apalagi luka sobek,” kata Arya yang juga dosen pengajar di Fakultas Kedokteran USU itu.
Arya menjelaskan, ada tiga fase penyembuhan luka, yakni fase inflamasi atau peradangan, pembentukan jaringan baru, dan pematangan jaringan. PPNE bekerja di fase pertama dan kedua, yakni dengan mempercepat proses peradangan agar tidak terlalu lama, mencegah dan mengatasi infeksi, hingga membentuk jaringan parut baru.
Pada fase ketiga, pengobatan luka akan menggunakan bahan obat lain yang lebih efektif dalam pematangan dan penguatan jaringan baru. Pematangan jaringan baru ini bisa memakan waktu sampai berbulan-bulan.
Sejak dulu, sirih china sudah digunakan sebagai obat tradisional dengan cara dikunyah dan diletakkan di luka. Warisan pengobatan leluhur itu kini dikembangkan menjadi obat yang lebih modern, efektif, praktis, dan manjur dalam menyembuhkan luka.
Arya menjelaskan, ada pemahaman yang salah di tengah masyarakat dalam melihat proses penyembuhan luka. Luka yang kering dan membentuk keropeng dianggap sebagai penyembuhan yang baik. Jika sudah kering, luka dianggap sudah sembuh.
Padahal, luka yang kering dan membentuk keropeng menunjukkan ada masalah penyembuhan. Jika muncul keropeng, luka akan meninggalkan bekas yang jelek dan bisa menimbulkan keloid atau bekas luka abnormal. Keropeng dan keloid biasanya terjadi karena luka kurang hidrasi.
”Penyembuhan luka yang bagus itu harus lembab agar bisa membentuk jaringan baru yang lebih bagus dan tidak meninggalkan bekas luka yang jelek. Penggunaan sirih china menjaga luka tetap lembap,” kata Arya.
Kelembaban luka, kata Arya, juga dipengaruhi bentuk sediaan obat. Obat dalam bentuk jeli dan krim menjaga kelembaban luka dengan lebih baik karena kandungan airnya yang cukup. Sementara sediaan obat dalam bentuk salep tidak mengandung air yang cukup, tetapi minyak yang tinggi. Hal ini dapat membuat luka kurang terhidrasi dan akhirnya menjadi kering.
Uji klinik
Pada Juni 2024, tim peneliti sirih china akan meracik formulasi dan melakukan uji coba penyimpanan dan kemasan PPNE. Selanjutnya, mereka akan melakukan uji klinik fase I pada Juli. PPNE akan diuji coba dalam perawatan luka pada manusia. EWMA tertarik dengan uji klinik tersebut dan meminta agar Arya dan timnya memaparkan hasilnya pada pertemuan tahunan selanjutnya.
Penelitian tentang penyembuhan luka sangat penting dan menarik untuk dilakukan karena kasus luka yang cukup banyak di Indonesia. Sebagai ahli beda plastik dan rekonstruksi, Arya memilih meneliti dan mengembangkan obat penanganan luka ketimbang bedah plastik untuk tujuan kecantikan atau estetik.
”Merawat luka dengan baik bisa membantu penyembuhan dan membuat kualitas hidup pasien menjadi lebih baik. Sangat senang rasanya melihat hasil penyembuhan luka yang bagus,” kata Arya.
Arya menyebut, jurnal penelitian mereka sudah terindeks Scopus Q1, yakni jurnal yang memiliki kualitas tertinggi. Penelitian mereka berjudul ”Mengungkap Khasiat Peperomia pellucida: Profil Fitokimia, Potensi Antioksidan, dan Nanoemulsi dalam Kemanjuran Penyembuhan Luka”.
Infografik Jamu Obat Tradisional Indonesia
Penelitian Peperomia pellucida itu termasuk pionir. Peperomia pellucida sangat berpotensi untuk dikembangkan menjadi terapi pengobatan luka karena bahan baku yang melimpah, harga murah, dan proses pembuatan yang sederhana.
Selain Arya, peneliti lain dalam tim itu, yakni Bambang Prayugo, Felicia Dewi, Rony Abdi Syahputra, Adrian Joshua Velaro, M Andika Yudha Harahap, Nurpudji Astuti Taslim, Raymond R Tjandrawinata, serta Fahrul Nurkolis.
Rony yang berfokus dalam pengembangan farmasi menyebut, tim mereka akan melanjutkan penelitian uji klinik kemanjuran sirih china. Kelebihan sirih china adalah biaya produksi yang jauh lebih murah dan bahan baku yang melimpah di dalam negeri. ”Tantangan selanjutnya adalah uji klinik dan pengembangannya untuk produksi massal,” kata Rony.
Sejak dulu, sirih china sudah digunakan sebagai obat tradisional dengan cara dikunyah dan diletakkan di luka. Warisan pengobatan leluhur itu kini dikembangkan menjadi obat yang lebih modern, efektif, praktis, dan manjur dalam menyembuhkan luka.
Baca juga: Masyarakat Beradaptasi melalui Pengobatan Tradisional
Dilansir dari dan telah tayang di: https://www.kompas.id/baca/humaniora/2024/06/06/tanaman-sirih-china-potensi-besar-untuk-pengobatan-luka