Menggagas Penggabungan Penggolongan Narkoba


PADA rapat konsinyering Panja Revisi Undang-Undang No.35/2009 tentang Narkotika, Maret 2024, mengemuka usulan untuk menggabung penggolongan narkotika dan psikotropika. Usulan tersebut layak diapungkan sebab hanya segelintir negara, termasuk Indonesia yang masih menerapkan dualitas penggolongan narkoba (Narkotika dan Psikotropika). Sementara di Amerika Serikat (AS) dan Kanada misalnya, telah lama memilah narkoba ke dalam 5 golongan saja, berdasar pada adiktivitas zat bersangkutan.

Benang kusut penggolongan narkoba itu bermula pada pembentukan UU Narkotika pada akhir 2000, ketika Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM) masih menginduk di bawah Kementrian Kesehatan (Kemenkes) dalam bentuk Direktorat Jenderal (Ditjen POM). Namun, setelah berdiri sendiri menjadi lembaga pemerintah non-kementrian, kewenangan tersebut tak ikut berpindah. Idealnya, kewenangan penggolongan narkoba dikembalikan kepada pada institusi penyelenggara uji zat dan prekursor narkoba Badan Narkotika Nasional (BNN) atau BPOM. Selain sesuai dengan konsep one leading agency dalam hal Pencegahan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika (P4GN), lebih efektif dan efisien sebab tindak hulu (interdiksi) hingga hilir (rehabilitasi) satu komando di bawah satu institusi. Sebagai perbandingan, di AS dan Kanada, Undang-Undang (UU) Controlled Substances Act (CSA) memberi kontrol penggolongan Narkoba, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) sepenuhnya kepada Drug Enforcement Administration (DEA), lembaga mirip BNN di tanah air. Itu memberi dasar hukum bagi DEA dan aparat hukum lainnya melakukan tindakan operasional di lapangan. Jika terdapat prekursor atau zat yang ingin ditambahkan ke dalam Schedule narkoba, DEA membuat permintaan penyelidikan kepada Kemenkes (HHS), BPOM AS (FDA), serta National Institute on Drug Abuse (NIDA). Rekomendasi ketiga lembaga tersebut dirujuk balik dan menjadi dasar bagi DEA, untuk menggolongkan serta menyusun aturan hukum terkait prekursor/zat yang dimaksud. Dualitas penggolongan narkotika yang kita anut saat ini memunculkan celah hukum yang dapat dimanfaatkan pihak-pihak yang tak bertanggung jawab. Penyalahgunaan zat anabolic androgenic steroid (AAS) oleh para olahragawan misalnya, tak dapat dijerat hukum sebab tak tercantum dalam daftar Permenkes narkoba.

Selain penggabungan penggolongan narkoba, perlu dipikirkan model pengklasifikasian baru guna menampung segala zat/prekursor yang belum tercantum didalamnya. Penyalahgunaan obat penahan nyeri jenis Tramadol contohnya, tak dapat dijerat hukum formal sebab tak tercantum sebagai narkoba. Di AS, untuk menjaring penyalahgunaan zat dan obat-obatan populer yang dijual bebas di pasaran dan tak tercantum dalam CSA, DEA membentuk unit Office of Diversion Control (ODC). Lembaga tersebut memiliki kewenangan menginvestigasi zat dan obat, lalu menentukan apakah mereka memenuhi syarat dimasukkan kedalam pengawasan (controlled substance) atau tidak. Unit seperti inilah yang belum terbentuk di BNN dan BPOM. Atas saran di atas, ada momentum untuk merevisi UU No.35/2009 tentang Narkotika. Terkumpulnya kewenangan penanggulangan narkoba dari hulu ke hilir pada satu leading agency disertai metode penggolongan yang lebih ringkas tentunya dapat membantu upaya P4GN ya....


Dilansir dari dan telah tayang di: https://epaper.mediaindonesia.com/detail/menggagas-penggabungan-penggolongan-narkoba