Jika detikers pernah mengalami patah hati, mungkin tahu bahwa rasa sakit emosional yang ditimbulkannya bisa menghancurkan secara fisik. Rasa sesak di dada dan sensasi menggerogoti di perut bukan sekadar khayalan belaka. Hal ini adalah manifestasi fisiologis nyata yang berasal dari penderitaan dan tekanan emosional.
Rasa sakit emosional memiliki kemampuan khusus untuk memicu sensasi tidak nyaman di perut. Entah itu rasa sakit akibat penolakan, rasa takut, atau rasa senang yang meluap-luap, emosi-emosi ini sering kali memunculkan sensasi-sensasi yang khas.
Namun mengapa perut terkait jelas dalam pengalaman emosional kita?
Sakit Emosional Tidak Jauh Berbeda dengan Sakit Fisik
Jika kalian pernah mengabaikan perasaan dan menghubungkannya dengan pemikiran berlebihan atau sekadar imajinasi, penting untuk menyadari bahwa rasa sakit emosional sama nyatanya dengan rasa sakit fisik. Hal ini bukan rekayasa pikiran, tetapi pengalaman nyata yang patut mendapat pengakuan dan perhatian.
Studi fMRI telah menjelaskan paralelisme tersebut, menunjukkan area otak yang identik menyala ketika seseorang mengalami rasa sakit fisik atau emosional. Dalam eksperimen di mana pasien yang berbaring di dalam pemindai otak dikenai stimulus yang tidak nyaman dan menyakitkan untuk sementara waktu, mirip dengan ketidaknyamanan saat memegang cangkir kopi panas. Bagian otak mereka yang sama menyala seperti saat mereka melihat gambar seseorang yang baru saja putus dengan mereka.
Hal ini menunjukkan bahwa penolakan dan rasa sakit emosional memicu area otak yang sama dengan rasa sakit fisik, menjadikannya sama, bahkan lebih menyusahkan.
Rasa sakit yang kita alami, baik fisik maupun emosional, sangatlah penting karena ini adalah cara tubuh kita memberi tahu suatu rangsangan berbahaya. Oleh karena itu, ketika otak mendeteksi rasa sakit, otak akan memicu respons melawan atau lari (fight-or-flight), mempersiapkan kita untuk mengatasi stres.
Rangkaian respons yang dimulai sebagai bagian dari respons melawan-atau-lari, bertanggung jawab atas sensasi fisik yang kita alami saat merasakan emosi.
Rasa Sakit Emosional dan Stres Penyebab Ketidaknyamanan Perut
Stimulus apa pun, baik fisik maupun psikologis, yang mengganggu keseimbangan tubuh (homeostasis) adalah pemicu stres. Tekanan emosional juga bertindak sebagai pemicu stres, memicu respons stres yang ditandai dengan mengaktifkan tiga sistem utama yaitu sistem saraf simpatik, poros HPA (Hipotalamus-Pituitary-Adrenal), dan sistem kekebalan tubuh. Ketiga sistem ini secara kolektif menggerakkan sensasi yang berpusat pada perut saat kalian terluka secara emosional.
Peran Sistem Saraf Simpatis
Sistem saraf simpatik memainkan peran penting dalam respons tubuh kita terhadap stres.
Hipotalamus memicu medula adrenal (kelenjar endokrin yang berada di atas ginjal) untuk melepaskan epinefrin dan nor-epinefrin ke dalam aliran darah. Neurotransmiter ini berikatan dengan reseptor pada membran sel, memulai respons seluler.
Salah satu jenis sel yang menjadi target hormon-hormon ini adalah otot. Otot jantung dan sel otot polos berkontraksi, menyebabkan peningkatan detak jantung dan tekanan darah. Perubahan fisiologis ini sangat penting untuk mengarahkan aliran darah ke otot rangka, yang merupakan bagian penting dari respons "lari".
Sementara itu, aliran darah ke sistem pencernaan menurun, sehingga mengalihkan sumber daya ke organ yang memerlukan aktivitas tinggi, seperti otot jantung. Lantas, kalian akan merasakan berkurangnya suplai darah ke perut sebagai rasa sakit yang aneh, seolah-olah perut "turun".
Peran Poros HPA
Sumbu HPA diaktifkan lebih lambat dibandingkan aktivasi cepat sistem saraf simpatis, dan memfasilitasi respons yang lebih bertahap. Sistem HPA bertanggung jawab atas pelepasan hormon pelepas kortikotropin (CRH), yang diperlukan untuk merangsang kelenjar adrenal untuk melepaskan kortisol. Kortisol, setelah dilepaskan, semakin mengurangi aliran darah ke saluran pencernaan, sekaligus meningkatkan suplai darah ke otot jantung.
Baik adrenalin dan kortisol berkontribusi terhadap ketegangan otot di dada dan perut, akibat perubahan kontraksi otot. Dikutip dari Science ABC, perubahan aktivitas otot juga berkontribusi terhadap rasa tidak nyaman fisik di area tersebut.
Peran Sistem Kekebalan Tubuh
Pelepasan kortisol akibat stres mengurangi respons inflamasi imun, sehingga menyebabkan penekanan aktivitas imun. Ketika stres berlangsung dalam jangka waktu lama dan menjadi kronis, sistem kekebalan tubuh terus melemah, berpotensi menyebabkan berkembangnya tukak lambung dan pendarahan, sehingga menyebabkan ketidaknyamanan yang signifikan di daerah perut.
Telah menjadi sangat jelas melalui penelitian ekstensif selama bertahun-tahun bahwa kaitan yang jelas antara otak dan usus bertanggung jawab untuk mengatur dampak pengalaman emosional pada perut. Oleh karena itu, hubungan ini perlu dikaji lebih mendalam.
Sumbu Usus-Otak
Terbentang dari kerongkongan hingga rektum, saluran pencernaan memiliki sistem saraf rumit yang terdiri dari hampir 600 juta neuron, yang kita sebut sistem saraf enterik atau ENS. ENS beroperasi secara independen dari sistem saraf pusat (SSP), tetapi keduanya berkomunikasi satu sama lain. Komunikasi dua arah ini disebut sebagai poros otak-usus.
Sumbu ini memainkan peran penting dalam menerjemahkan respons emosional menjadi efek fisiologis di dalam usus. Salah satu konsekuensi signifikan dari rasa sakit atau tekanan emosional adalah kemampuannya mempengaruhi motilitas usus.
Peningkatan kadar kortisol, yang dipicu oleh stres, berdampak pada aktivitas otot dalam sistem pencernaan dan meningkatkan peradangan, sehingga mengganggu keseimbangan mikrobioma usus Anda.
Gangguan pada mikrobioma usus dapat menyebabkan perubahan pelepasan serotonin, neurotransmitter penting yang memengaruhi emosi dan motilitas usus. Ada 95% serotonin disintesis di dalam usus, dan perubahan kadarnya dapat menyebabkan perubahan motilitas usus, sehingga memperburuk ketidaknyamanan fisik di perut.
Pengaruh Ketidaknyamanan Perut terhadap Emosi
Sama seperti emosi yang berdampak pada naluri. Naluri juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap emosi. Misalnya, perubahan mikrobioma usus yang disebabkan oleh perubahan pola makan atau penyakit dapat mengubah kadar serotonin, yang pada gilirannya dapat memengaruhi suasana hati dan menyebabkan tekanan emosional.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ketidaknyamanan perut selama masa kanak-kanak berkorelasi positif dengan sakit perut berulang, kecemasan, depresi, dan ketidakbahagiaan pada akhir masa remaja.
Temuan ini menunjukkan adanya interaksi yang rumit antara psikologi dan fisiologi, yang menunjukkan bahwa kesehatan yang baik dalam kedua aspek tersebut sangat penting untuk kehidupan yang sehat.
Tools Google yang Bisa Dipakai Membuat Puisi, Apa Saja?
Dilansir dari dan telah tayang di: https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-7314540/mengapa-kita-bisa-sakit-perut-saat-perasaan-terluka