Kasus demam berdarah dengue di Indonesia: ‘Fogging beri rasa aman semu‘ – Kasus melonjak bahkan picu kematian, bagaimana cara antisipasinya?


Kasus demam berdarah dengue di Indonesia: ‘Fogging beri rasa aman semu‘ – Kasus melonjak bahkan picu kematian, bagaimana cara antisipasinya?

Sumber gambar, Antara Foto Keterangan gambar, Seorang siswa berlari menghindar saat petugas Puskesmas melakukan pengasapan atau fogging di SDN Kersoharjo 2, Ngawi, Jawa Timur, Jumat (08/03).

‘Fogging beri rasa aman semu‘ – Kasus demam berdarah melonjak bahkan picu kematian, bagaimana cara antisipasinya?

Penyakit demam berdarah dengue menjangkiti ratusan orang di sejumlah kabupaten dalam beberapa hari terakhir. Merujuk data Kementerian Kesehatan, 124 orang telah meninggal akibat penyakit ini selama Januari dan Februari lalu.

Total muncul hampir 16 ribu kasus demam berdarah dengue di Indonesia dalam dua bulan terakhir. Angka ini melonjak dibandingkan periode yang sama pada tahun 2023.

Di Boyolali, Jawa Tengah, kasus demam berdarah dengue terus bertambah. Hingga pekan lalu, sebanyak 174 orang telah mengidap demam berdarah dengue di kabupaten itu terhitung Januari lalu. Pekan ini, jumlahnya bertambah menjadi 185.

Kepala Dinas Kesehatan Boyolali, Puji Astuti, menyebut peningkatan kasus demam berdarah dengue di kabupatennya terjadi sangat signifikan. Meski begitu, kata dia, angka fatalitas atau orang yang meninggal akibat penyakit itu “masih dalam batas aman“.

Dari seluruh kasus, pengidap demam berdarah dengue yang meninggal berjumlah tiga orang. “Mungkin karena mereka datang ke fasilitas kesehatan terlambat,“ ujar Puji.

Meski ratusan orang telah terjangkit dan tiga di antaranya kehilangan nyawa, Puji berkata tren kasus demam berdarah dengue di wilayahnya belum masuk kategori membahayakan. Fasilitas kesehatan di Boyolali, kata Puji, masih mampu menangani para pengidap demam berdarah dengue.

“Kami punya 12 rumah sakit. Belum ada berita dari rumah sakit tentang kegawatan tempat tidur. Kami masih mampu menangani,“ ujar Puji.

Secara nasional, angka kasus demam berdarah dengue juga cenderung meningkat selama tiga pekan terakhir, kata Siti Nadia Tarmizi, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan. Dia berujar, seluruh pihak mesti mewaspadai tren tersebut.

Di Ponorogo, Jawa Timur, kasus demam berdarah dengue juga terus melonjak. Mengutip Detik, RSUD Harjono Ponorogo merawat 30 pengidap demam berdarah dengue pada Januari dan 130 orang selama Februari lalu. Untuk Maret, pasien yang mereka tangani telah mencapai 90 orang.

Sementara di Kota Bandung, Jawa Barat, kasus demam berdarah dengue sejak Januari lalu telah mencapai 615 orang—enam di antaranya meninggal dunia. Angka itu, menurut dinas kesehatan setempat, lebih tinggi ketimbang periode yang sama tahun lalu.

‘Kasus selalu banyak pada awal tahun’

Jumlah kasus demam berdarah dengue selalu mengikuti pola yang sama setiap tahun: mulai meningkat pada Desember dan akan mencapai puncak pada April, kata Dokter Ngabila Salama, Kepala Seksi Pelayanan Medik dan Keperawatan RSUD Tamansari Jakarta.

Ngabila menyebut tiga faktor yang memicu pola peningkatan kasus demam berdarah dengue pada periode Desember sampai April tersebut.

Pertama, musim hujan berpotensi membuat banyak genangan air yang berpotensi menjadi lokasi nyamuk berkembang biak. Ini berkaitan dengan faktor kedua, yaitu kelembaban udara tinggi pada musim hujan memudahkan nyamuk Aedes aegepty beranak pinak.

Sumber gambar, Antara Foto Keterangan gambar, Petugas melakukan fogging atau pengasapan untuk mencegah penyebaran penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Desa Laladon, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Sabtu (09/03). Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat mencatat sejak Januari 2024 hingga Maret 2024 jumlah kasus penyakit DBD sebanyak 7.654 kasus dengan angka kematian mencapai 71 kasus.

Faktor ketiga, kata Ngabila, imunitas seseorang cenderung menurun pada musim pancaroba—hujan yang berganti panas secara terus-menerus.

Sebelumnya, hal serupa dikatakan Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular di Kementerian Kesehatan, Imran Pambudi.

Menurutnya, fenomena iklim El Nino yang memicu suhu panas dan kekeringan di Indonesia selalu diikuti La Nina yang mendorong hujan. Imran berkata, situasi itu memicu munculnya banyak tempat perindukan dan penetasan telur nyamuk Aedes aegepty.

"Cuma hujannya sekarang itu kan enggak sopan ya, hujan sehari kemudian panas, kemudian hujan lagi 4 hari. Justru hujan seperti ini lah yang membahayakan," kata Imran, pekan lalu.

Karena tampungan air itu tidak tergantikan, jadi ada nyamuk yang bertelur di situ sehingga masih bisa menetas. Lebih baik hujan deras atau hujan setiap hari sehingga ini terganti terus."

Apa gejala para pasien?

Tiga orang yang meninggal di Boyolali disebut mengalami gejala yang sama dengan banyak pengidap demam berdarah dengue lainnya: demam, batuk, dan pilek. Mereka juga mengalami tipes.

Kepala Dinkes Boyolali, Puji Asuti, berkata semestinya masyarakat tidak menganggap wajar gejala seperti itu. Jika tidak ditangani sesegera mungkin, pengidap demam berdarah dengue berpotensi mengalami kondisi yang fatal.

“Kadang-kadang kita menyederhanakan masalah, tidak periksa ke dokter dan memilih mengobati diri sendiri,” kata Puji.

“Dan ketika datang ke dokter pun bilang panasnya baru saja terjadi padahal sudah tiga hari. Padahal periode panas menjadi tolak ukur diagnosa dokter juga,” tuturnya.

‘Fogging hanya beri rasa aman semu‘

Dengan situasi saat ini, Puji meminta masyarakat Boyolali untuk merutinkan pemberantasan sarang nyamuk. Siasat ini juga selalu dianjurkan oleh Kementerian Kesehatan.

Menurut Puji, masyarakat semestinya lebih dulu membasmi sarang nyamuk di tingkat rumah tangga, seperti genangan air di pot bunga dan pelepah pohon, sebelum meminta pemerintah melakukan pengasapan (fogging).

Apalagi, kata Puji, warga bisa meminta obat pembunuh jentik nyamuk atau abate secara gratis dari puskesmas.

"Selama ini masyarakat kalau ada kasus demam, karena kecurigaan demam berdarah, langsung pemda melakukan fogging. Padahal bukan seperti itu penanganannya. Justru pemberantasan sarang nyamuknya yang harus digerakkan," kata Puji.

“Fogging itu kita lakukan kalau di situ ada fokus infeksinya,“ ucap Puji.

Anjuran serupa juga dikatakan Riris Andono Ahmad, peneliti nyamuk sekaligus Direktur Pusat Kedokteran Tropis Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta.

“Fogging tidak menyelesaikan masalah, hanya membasmi nyamuk dewasa,“ ujarnya.

“Telur-telur nyamuk masih banyak di sudut-sudut lingkungan, satu-dua minggu setelah fogging jumlah populasi nyamuk akan bertambah dan kembali lagi seperti sebelumnya.

“Fogging hanya memberi rasa aman semu,“ tuturnya.

Riris berkata, efektivitas pengasapan lingkungan bergantung pada kualitas insektisida. Tanpa pengawasan yang ketat, dia menyebut pengasapan kerap sia-sia karena nyamuk telah resisten dengan insektisida tertentu.

Mitigasi perlu peran pemerintah

Riris menyebut pemberantasan sarang nyamuk vital dilakukan di tingkat individu dan keluarga. Namun pemerintah perlu mengoordinasikan gerakan ini agar upaya mitigasi bisa berjalan serentak dan berkesinambungan.

“Dulu ada gerakan Jumat Bersih. Pemerintah bisa mengaktivasi gerakan ini lagi supaya masyarakat tidak hanya secara individu tapi secara terkoordinasi melakukan pencegahan di lingkungan mereka,“ ujar Riris.

Selain pemberantasan sarang nyamuk, hal vital lain yang perlu dilakukan pemerintah adalah menelisik ada tidaknya transmisi lokal. Inilah yang disebut Riris menentukan perlu tidaknya pengasapan di suatu wilayah.

Riris berkata, pemerintah juga mesti memastikan ruang perawatan di rumah sakit dan puskesmas cukup untuk menampung pengidap demam berdarah.

Bagaimana kabar nyamuk wolbachia?

Pada tahun 2016 silam, telur nyamuk yang mengandung bakteri Wolbachia dilepaskan di sejumlah lokasi di Yogyakarta. Program itu menjadi percontohan inovasi mencegah nyamuk aedes aegypti menularkan virus ke manusia.

Riris berkata, program wolbachia di Yogyakarta merupakan preseden positif dalam mitigasi penularan demam berdarah. Jumlah kasus penyakit itu di Yogyakarta menurun setelah program wolbachia.

Kementerian Kesehatan tahun lalu menguji inovasi yang dilakukan UGM dan Monash University Australia itu di lima wilayah: Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Kupang, dan Bontang.

Namun masyarakat—yang responsnya terpecah terhadap program wolbachia—belum akan merasakan efektivitas wolbachia, kata Riris.

“Kita akan melepaskan nyamuk sampai populasi nyamuk berbakteri wolbachia-nya mencapai 60%. Itu butuh waktu sekitar enam bulan, kalau programnya berjalan normal,“ ujar Riris.

Riris berkata, waktu enam bulan dibutuhkan perlu 12 kali penyebaran nyamuk wolbachia, setiap 2 minggu. Selain itu, dia menyebut inovasi wolbachia akan berjalan efektif ketika diterapkan di wilayah dengan kepadatan penduduk yang tinggi.

Februari lalu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyebut pihaknya membutuhkan waktu yang lebih lama agar program wolbachia efektif, yaitu 18 sampai 24 bulan.

Namun Budi menekankan bagaimana publik semestinya menerima inovasi wolbachia sebagai sesuatu yang terbukti secara akademik dan medis. Selama ini sebagian kalangan menolak program ini karena sejumlah kabar bohong alias hoaks.

“Memang DBD ini setiap kali ada El Nino, di seluruh dunia naik, nah kita juga sudah antisipasi, itu sebabnya kita jalankan pilot project wolbachia, dari yang tadi hanya di Yogyakarta, karena di Yogya terbukti turun, turunnya itu drastis sekali,“ kata Budi.

Merujuk data Kementerian Kesehatan sejak 2012-2015, jumlah kasus demam berdarah dengue di Indonesia naik dari 90.245 hingga 129.500 kasus.

Kemudian pada 2016 melonjak drastis menjadi 204.171 kasus.

Pada 2017-2018 turun di angka 65.602 kasus dan pada 2019 kembali naik hingga 138.127 kasus.

Lalu di tahun 2020 jumlah kasus DBD turun di angka 108.303 dan setahun setelahnya kembali turun menjadi 73.518.

Pada tahun 2022 kasus DBD tercatat sebanyak 143.184.Tahun lalu jumlah kasusnya turun menjadi 98.071.


Dilansir dari dan telah tayang di: https://www.bbc.com/indonesia/articles/cw0zr91j8xlo