Perempuan lebih berisiko mengalami migrain. Hal ini dipengaruhi oleh hormon yang dimiliki.
Migrain merupakan nyeri kepala berulang yang serangannya bisa terjadi selama 4-72 jam. Nyeri kepala migrain terjadi di satu sisi dengan kondisi berdenyut serta intensitasnya sedang hingga berat.
JAKARTA, KOMPAS — Setiap individu setidaknya pernah mengalami migrain dalam hidupnya. Namun, sering kali nyeri kepala ini disepelekan. Padahal, migrain harus diatasi dengan baik agar tidak semakin memburuk menjadi migrain kronis.
Foto ilustrasi seorang warga yang dipenuhi uban di Kota Tangerang, Banten, Selasa (5/1/2021). Penelitian menunjukkan bahwa nyeri kepala atau migrain yang berulang mesti mendapatkan perhatian serius.
Nyeri kepala pada migrain bisa bertambah berat ketika beraktivitas fisik. Kondisi ini bisa disertai dengan gejala mual dan muntah serta lebih sensitif terhadap suara ataupun cahaya terang.
Anggota Kelompok Kerja Nyeri Kepala Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Neurologi Indonesia (Perdosni) Restu Susanti mengatakan, nyeri kepala migrain bukan merupakan nyeri kepala biasa. Pada beberapa kasus, nyeri migrain bisa sampai memengaruhi kualitas hidup seseorang, bahkan bisa mengganggu kemampuan fungsional dalam pekerjaan, sekolah, ataupun interaksi sosial lainnya.
Penanganan yang tepat amat dibutuhkan agar migrain yang dialami bisa diatasi dengan baik. Jika tidak mendapatkan penanganan yang tepat, kondisi migrain bisa semakin buruk hingga menyebabkan migrain kronis.
WWW.CDC.GOV Nyeri kepala migrain lebih banyak ditemukan pada perempuan.
”Migrain kronis ini terjadi dengan frekuensi nyeri kepala yang semakin meningkat. Nyeri kepala itu bisa terjadi lebih dari 15 hari dalam satu bulan, di mana penderita akan mengalami gejala migrain minimal selama delapan hari dan ini bisa terjadi lebih dari tiga bulan,” tuturnya dalam seminar daring peringatan Bulan Kesadaran Migrain dan Nyeri Kepala yang diadakan Perdosni dan Pfizer, Kamis (13/6/2024).
Migrain yang tidak terdiagnosis dengan baik serta tak mendapatkan tatalaksana optimal akan susah diatasi. Pengobatan yang tidak tepat, baik pengobatan yang tidak tuntas maupun pengobatan yang berlebihan, dapat memperburuk kondisi tersebut. Migrain juga dapat merembet ke masalah kesehatan mental.
Migrain kronis ini terjadi dengan frekuensi nyeri kepala yang semakin meningkat. Nyeri kepala itu bisa terjadi lebih dari 15 hari dalam satu bulan. Di mana penderita akan mengalami gejala migrain minimal selama delapan hari dan ini bisa terjadi lebih dari tiga bulan.
Anggota Pokja Nyeri Kepala PP Perdosni yang juga staf departemen neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Henry Riyanto Sofyan, menuturkan, penanganan yang tidak tepat dapat menyebabkan kondisi migrain semakin memburuk. Ketika sudah mengalami migrain kronis, kondisi migrain mungkin tidak bisa disembuhkan secara total.
Baca juga: Tubuh Kekurangan Magnesium Lebih Rentan Mengalami Sakit Kepala
Pengobatan yang diberikan hanya untuk mengurangi gejala yang muncul serta mengurangi frekuensi dan intensitas dari nyeri kepala. Kecurigaan akan adanya migrain dapat membantu tatalaksana yang lebih tepat.
”Pengobatan akan diberikan agar pasien bisa kembali beraktivitas dan menjalankan fungsinya dengan baik. Pengobatan pun harus didukung dengan upaya untuk mengatasi trigger (pemicu) dari migrain,” katanya.
Karena itu, Henry mengatakan, jika seseorang mulai mengalami gejala migrain, sebaiknya yang bersangkutan segera melakukan pemeriksaan ke fasilitas kesehatan. Ia tidak menyarankan penggunaan obat-obatan warung pada pasien migrain.
Sebab, obat-obatan tersebut justru dapat memberikan efek samping yang membuat pasien akan terus meningkatkan dosis penggunaan. Pemeriksaan dan konsultasi dengan dokter perlu dilakukan, terutama jika nyeri kepala terjadi dalam jangka panjang.
Restu, yang juga merupakan pengajar Bagian Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang, menuturkan, penyebab migrain belum sepenuhnya diketahui dengan jelas. Namun, terdapat faktor risiko yang seharusnya bisa diwaspadai oleh masyarakat.
Kondisi migrain dapat dipengaruhi oleh riwayat keluarga. Migrain lebih sering ditemukan pada usia di atas 30 tahun. Selain itu, migrain juga lebih banyak ditemukan pada perempuan.
Perempuan lebih berisiko
Kejadian migrain 3-4 kali lebih sering terjadi pada perempuan. Hal ini terutama pada perempuan yang sudah melewati masa pubertas. Pada perempuan, durasi serangan nyeri kepala migrain cenderung lebih lama dan risiko kekambuhan lebih tinggi. Tidak hanya itu, risiko disabilitas pada perempuan lebih besar dengan waktu pemulihan yang lebih lama.
Risiko migrain yang lebih tinggi pada perempuan dipengaruhi oleh hormon estrogen yang dimiliki. Hormon estrogen berperan untuk merangsang saraf yang dapat memicu terjadinya migrain.
Siklus naik turunnya kadar estrogen yang khas terjadi pada masa subur turut berperan meningkatkan kerentanan migrain pada perempuan. Peningkatan kadar estrogen ini biasanya terjadi selama siklus menstruasi dan saat kehamilan.
”Khas kejadian serangan migrain pada perempuan akan meningkat cepat selama masa pubertas, kemudian memuncak pada masa reproduksi, dan menurun setelah menopause,” kata Restu.
Faktor risiko
Faktor risiko lain yang patut diwaspadai, antara lain, ialah kelebihan berat badan dan obesitas, stres akibat beban kerja serta tekanan dan hubungan dengan rekan kerja, paparan pencahayaan yang berlebihan, suara bising, perubahan suhu dan tekanan udara, serta aroma yang menyengat. Konsumsi alkohol, kopi, keju, cokelat, dan makanan berpengawet dapat menjadi faktor risiko lainnya.
Baca juga: Kenali Tanda dan Risiko Migrain
Migrain juga dapat dipicu oleh penggunaan layar elektronik yang berhubungan dengan penggunaan cahaya biru, kilatan cahaya komputer, dan pantulan cahaya. Kurangnya istirahat, kurang asupan vitamin D, serta pola makan yang tidak tepat yang sering terlambat makan dapat memicu pula terjadinya migrain.
Restu menuturkan, masyarakat diharapkan bisa mencegah faktor risiko tersebut agar terhindar dari kondisi migrain. Gangguan migrain dapat dicegah juga dengan berolahraga teratur, menjalani pola makan yang sehat, tidur cukup dan teratur, manajemen stres yang baik, membatasi konsumsi kafein, serta menghindari alkohol dan rokok.
”Migrain ini semakin meningkat di masyarakat. Diharapkan kesadaran akan kondisi migrain bisa semakin baik, termasuk pada diagnosisnya. Sebaiknya, kita juga berupaya untuk menghindari trigger yang bisa menyebabkan migrain,” tuturnya.
Dilansir dari dan telah tayang di: https://www.kompas.id/baca/humaniora/2024/06/13/jangan-anggap-remeh-nyeri-kepala-migrain-perempuan-lebih-berisiko?open_from=Tagar_Page