Alat Pendeteksi Gangguan Tiroid Berbasis Nuklir


Terdapat beberapa jenis gangguan tiroid, antara lain hipotiroid dan hipertiroid. Kondisi hipotiroid terjadi apabila hormon yang dihasilkan kelenjar tiroid kurang, sedangkan kondisi hipertiroid terjadi apabila hormon yang dihasilkan berlebihan.

Gangguan tiroid bisa menyerang segala usia. Akan tetapi, kesadaran serta deteksi akan gangguan tersebut masih sangat rendah. Secara global diperkirakan ada 200 juta orang di seluruh dunia yang mengalami gangguan tiroid, tetapi lebih dari 50 persen penderitanya tidak terdiagnosis.

Di Indonesia, angka penderita hipotiroid pada 2022 diperkirakan sebanyak 12,4 juta orang, tetapi hanya 1,9 persen yang mendapat terapi. Sementara angka hipertiroid sekitar 13,2 juta pasien dan hanya 6,2 persen yang berobat.

Kurangnya kesadaran akibat informasi dan edukasi yang minim membuat deteksi dini gangguan tiroid tidak optimal. Selain itu, akses pada pengobatan serta layanan deteksi dini yang terbatas juga membuat deteksi dini menjadi kurang.

Deteksi dini dari gangguan tiroid amat penting sebab kelenjar tiroid yang membesar dapat menjadi tanda munculnya tumor ganas atau kanker. Gangguan pada kelenjar tiroid juga dapat menjadi tanda dari kerusakan pada sistem kekebalan tubuh. Penanganan yang tepat harus segera diberikan agar tidak terjadi komplikasi yang lebih buruk.

KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN Peserta seminar dan skrining tiroid gratis mendengarkan pemaparan pembicara di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Selasa (3/10/2023).

Salah satu pemeriksaan untuk mendeteksi adanya gangguan tiroid adalah dengan menggunakan kamera gamma. Pemeriksaan berbasis kedokteran nuklir ini dilakukan dengan kamera gamma menggunakan radiofarmaka yang dimasukkan ke dalam tubuh pasien. Pencitraan dengan kamera gamma akan dilakukan dengan menilai kemampuan kelenjar tiroid dalam menangkap zat radioaktif atau radiofarmaka yang telah diinjeksikan dalam tubuh pasien.

Metode deteksi dengan pencitraan kamera gamma ini cukup efektif untuk memberikan informasi diagnostik adanya gangguan tiroid. Akan tetapi, ketersediaan alat ini masih terbatas. Pengadaannya tidak mudah karena harganya cukup mahal, yakni sekitar Rp 16 miliar. Sebagian besar alat pun masih harus diimpor.

Hal itu kemudian mendorong peneliti dari Organisasi Riset (OR) Kesehatan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengembangkan produk substitusi dari kamera gamma untuk mendeteksi gangguan tiroid. Alat yang disebut dengan Thyroid Uptake atau pendeteksi kelenjar tiroid ini memiliki fungsi yang hampir sama dengan kamera gamma.

Baca juga: Diagnosis Lamban, Penanganan Gangguan Tiroid Terhambat

Namun, teknologi yang digunakan relatif lebih sederhana sehingga biaya investasi dan biaya operasionalnya lebih murah. Selain itu, sekitar 80 persen komponen dari alat ini menggunakan komponen lokal.

Perekayasa ahli madya dari Pusat Riset Kedokteran Klinis dan Preklinis OR Kesehatan BRIN, Riswal Hanafi Siregar, yang menjadi peneliti dari inovasi Thyroid Uptake menuturkan, Thyroid Uptake merupakan perangkat berbasis nuklir. Perangkat ini dapat digunakan di poli kedokteran nuklir di fasilitas kesehatan.

Thyroid Uptake merupakan perangkat berbasis nuklir. Perangkat ini dapat digunakan di poli kedokteran nuklir di fasilitas kesehatan.

Secara teknis, perangkat ini bekerja dengan menilai kemampuan kelenjar tiroid dalam menangkap zat radioaktif atau radiofarmaka. Deteksi dini atau yang disebut sebagai uji tangkap dini dilakukan dengan menggunakan radiofarmaka 99mTC-pertechnetate ataupun iodin 131. Namun, Badan Energi Atom Internasional (IAEA) kini tidak lagi merekomendasikan penggunaan iodin untuk deteksi dini dalam kedokteran nuklir.

Diagnosis akan dilakukan dengan mengukur persentase dari kemampuan kelenjar tiroid dalam menangkap kedua radiofarmaka tersebut. Penilaian akan mempertimbangkan waktu pemberian dan dosis radiofarmaka yang diberikan.

”Dibandingkan dengan alat yang diimpor, alat ini menggunakan sumber radiasi yang sangat kecil. Alat impor membutuhkan sumber radiasi sekitar 5 milicuri, sementara Thyroid Uptake hanya membutuhkan 200 microcuri. Jadi, sangat kecil dan sangat tidak berpengaruh ke pasien,” tutur Riswal saat dihubungi di Jakarta, Minggu (26/5/2024).

Alat ini juga dikembangkan agar bisa digunakan di rumah sakit tipe C ataupun klinik. Itu sebabnya, alat ini didesain dengan konsumsi daya listrik yang lebih kecil daripada penggunaan kamera gamma. Konsumsi daya untuk instrumen elektronik sekitar 220 VAC (volt alternating current/tegangan arus bolak-balik) atau sekitar 450 watt.

Berbagai modul elektronik telah dikembangkan agar data yang didapatkan dari pemeriksaan atau uji tangkap dari radiofarmaka bisa terbaca secara numerik di layar komputer. Hasil akhir akan ditunjukkan berupa kurva sehingga tenaga kesehatan yang menjadi operator lebih mudah untuk membaca hasil pengujian.

Alat ini memiliki dimensi panjang 80 sentimeter (cm), lebar 60 cm, dan tinggi 120 cm. Sementara beratnya sekitar 70 kilogram. Thyroid Uptake terdiri atas beberapa bagian, antara lain kolimator (bagian untuk mengatur luas lapang radiasi, pemegang kolimator, lengan kolimator, lengan sendi kolimator, kolom utama, landasan, dan boks elektronik).

Baca juga: Radioisotop untuk Diagnosis dan Terapi Kanker Tiroid

Lengan kolimator didesain fleksibel dan bisa diputar hingga 180 derajat menyesuaikan dengan posisi pasien. Jika digerakkan pada posisi tertentu, bagian lengan kolimator akan langsung mengunci secara statis sehingga tidak perlu dikunci secara manual.

KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN Peserta seminar dan skrining tiroid gratis mendengarkan pemaparan pembicara di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Selasa (3/10/2023).

Alat ini bisa digunakan pada anak kecil hingga dewasa, termasuk ibu hamil. Pemeriksaan pada ibu hamil tidak kalah penting. Ibu hamil yang memiliki gangguan tiroid berisiko menyebabkan bayi yang dilahirkan mengalami hipotiroid. Dampak jangka panjangnya bisa membuat pertumbuhan otak anak terhambat.

Pengembangan

Riswal mengatakan, Thyroid Uptake yang dihasilkan saat ini sudah mendapatkan hak paten. Uji klinis serta uji standar internasional pun telah dilakukan. Selama ini, alat ini telah digunakan di rumah sakit dengan skema penelitian berbasis pelayanan.

”Sekarang sudah dalam proses untuk mendapatkan lisensi. Nantinya, mitra dapat membeli teknologi ini sehingga bisa digunakan secara lebih luas,” katanya.

Alat ini merupakan generasi ketiga hasil penyempurnaan dari alat yang sudah dikembangkan sebelumnya. Pengembangan pada alat generasi ketiga ini mulai dilakukan pada 2019. Selain pada perangkat lunak (software), penyempurnaan juga dilakukan pada bagian lengan kolimator.

Pada alat sebelumnya, lengan kolimator harus dikunci secara manual. Cara itu cukup berisiko apabila tidak dilakukan dengan tepat. Jika lengan sampai longgar, hal itu akan berisiko menyebabkan luka pada pasien.

Pendekatan dengan mitra industri masih terus dilakukan oleh peneliti agar hilirisasi dan industrialisasi dari hasil penelitian ini bisa diwujudkan. ”Pekan depan akan dilakukan presentasi mengenai alat ini di depan 65 industri alat kesehatan nasional. Harapannya bisa segera bekerja sama dengan mitra industri,” ujar Riswal.

KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN Petugas kesehatan mengambil sampel darah peserta skrining tiroid gratis di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Selasa (3/10/2023).

Sebelumnya, Ketua Perhimpunan Kedokteran Nuklir dan Teranostik Molekuler Indonesia (PKN-TMI) Eko Purnomo dalam siaran pers yang diterbitkan oleh BRIN pada 8 Desember 2023 menuturkan, pengembangan pada teknologi nuklir di bidang kesehatan harus terus didorong. Teknologi tersebut sudah sangat berkembang di dunia, baik untuk diagnosis, terapi, maupun pengobatan.

Akan tetapi, keterbatasan fasilitas kedokteran nuklir serta ketersediaan radiofarmaka membuat pemanfaatan teknologi nuklir untuk bidang kesehatan di Indonesia masih kurang. Saat ini hanya ada 14 fasilitas kedokteran nuklir yang beroperasi secara penuh di Indonesia, baik untuk diagnosis maupun terapi.

Baca juga: Percepat Pengembangan Produk Radiofarmaka Dalam Negeri

”Ini jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan negara tetangga. Oleh karenanya, banyak pasien kita yang pindah berobat ke negara tetangga karena antrean di Indonesia sangat panjang dan tarif berobat lebih mahal. Kita harap kedokteran nuklir di Indonesia bisa lebih maju,” kata Eko.


Dilansir dari dan telah tayang di: https://www.kompas.id/baca/humaniora/2024/05/26/alat-penangkap-kelenjar-tiroid-berbasis-nuklir?open_from=Section_Terbaru