DEWAN Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) meloloskan rencana gencatan senjata baru yang didukung Amerika Serikat (AS) untuk Jalur Gaza pada Senin (10/06/2024) sebagai salah satu bentuk upaya untuk mengakhiri perang Israel-Hamas yang memanas delapan bulan terakhir.
Rencana gencatan senjata tersebut akan dilaksanakan dalam tiga fase. Pada fase pertama, kedua belah pihak diharapkan dapat melakukan gencatan senjata selama enam minggu dan memulai pembebasan sandera yang sudah lanjut usia, terluka, atau perempuan. Para warga sipil yang mengungsi juga diharapkan dapat mulai kembali ke rumahnya mereka pada fase pertama ini.
Di fase kedua, diharapkan Israel sudah menarik keseluruhan pasukannya, semua sandera telah dikembalikan, dan lebih banyak tahanan Palestina yang dibebaskan. Di fase terakhir, jenazah semua sandera yang tewas akan dikembalikan ke Israel dan pembangunan kembali Gaza akan segera dimulai.
Kini, satu tantangan yang tersisa adalah persetujuan dari Hamas dan Israel. Sejauh ini, tampaknya Hamas masih belum sepenuhnya menerima rencana tersebut. Walau Hamas telah menyepakati garis besarnya, namun mereka masih menuntut adanya “amandemen”.
Di sisi lain, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, secara terbuka menolak beberapa aspek dari rencana gencatan senjata itu. Hal ini menimbulkan pertanyaan terkait komitmen Israel terhadap apa yang AS katakan sebagai usulan Israel.
Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, mengatakan kepada reporter di Qatar pada Rabu bahwa negosiasi masih akan terus berlanjut. Dia juga mengatakan, Hamas telah meminta “banyak perubahan” yang beberapa di antaranya tidak dapat dilaksanakan.
Blinken menolak untuk menjelaskan hal tersebut secara rinci. Namun, pernyataan terbaru oleh pejabat Israel dan Hamas menunjukkan bahwa hingga saat ini, mereka masih terbagi atas banyak masalah yang sama yang para mediator telah coba jembatani selama berbulan-bulan.
Mengakhiri Perang
Hamas berkeras tak akan membebaskan sandera yang tersisa kecuali terjadi gencatan senjata skala penuh yang disertai oleh mundurnya semua pasukan Israel dari Gaza. Saat Joe Biden mengumumkan rencana baru itu bulan lalu, ia mengatakan bahwa rencana itu sudah mencakup dua hal yang diminta Hamas tersebut.
Di sisi lain, Netanyahu berkata bahwa Israel masih ingin menghancurkan kekuatan militer dan pemerintahan Hamas. Hal ini penting bagi mereka guna memastikan Hamas tak lagi melakukan serangan seperti yang terjadi pada 7 Oktober tahun lalu.
Jika semua pasukan Israel diperintahkan untuk mundur dari Gaza tanpa menghancurkan Hamas terlebih dahulu, Hamas masih akan terus memegang kendali atas wilayah tersebut dan masih mampu mempersenjatai diri mereka kembali.
Hal itu sebagian besarnya bisa terjadi karena Israel masih belum mengajukan rencana untuk tata kelola Gaza pasca-perang. Israel juga sebelumnya telah menolak usulan AS yang membutuhkan kemajuan besar menuju pembentukan negara Palestina.
Bersamaan dengan itu, juru bicara Hamas, Jihad Taha mengatakan kepada media Lebanon pada Rabu bahwa “amandemen” yang diminta Hamas memiliki tujuan, yaitu menjamin gencatan senjata permanen dan penarikan penuh pasukan Israel.
Hamas juga berupaya untuk membebaskan ratusan warga Palestina yang telah dipenjara oleh Israel, termasuk para pemimpin politik dan militan senior yang dihukum karena ikut mengatur serangan mematikan terhadap warga sipil Israel.
Walau begitu, masih belum jelas apakah kedua belah pihak telah menyetujui daftar mencakup siapa saja yang akan dibebaskan, atau apakah mereka akan dibebaskan di Gaza, di Tepi Barat, atau justru diasingkan.
Masalah dengan Fase Kedua
Keadaan menjadi rumit ketika membahas fase kedua dari rencana tersebut.
Kedua belah pihak seharusnya dapat menggunakan periode enam minggu yang ditentukan di fase pertama untuk merundingkan kesepakatan pada fase kedua, yang menurut Biden akan mencakup pembebasan semua sandera yang masih hidup, termasuk tentara pria, dan penarikan penuh Israel dari Gaza. Gencatan senjata sementara kemudian akan menjadi permanen.
Masalahnya, hal ini baru akan terjadi jika kedua belah pihak menyetujui rinciannya.
Hamas tampaknya masih khawatir bahwa Israel masih akan terus melanjutkan perang setelah sandera-sandera yang paling rentannya dibebaskan. Bahkan jika tidak sekalipun, Israel mungkin saja akan mengajukan tuntutan yang tidak ada di kesepakatan awal dan tak dapat diterima Hamas dalam tahap negosiasi tersebut. Jika Hamas menolak, kemungkinan besar Israel akan kembali melanjutkan perang.
Sementara itu, Duta Besar Israel untuk PBB, Gilad Erdan mengatakan, Israel akan menuntut agar Hamas disingkirkan dari kekuasaan dalam masa negosiasi tersebut.
“Kami tidak dapat menyetujui Hamas terus menjadi penguasa Gaza karena dengan begitu Gaza akan terus menjadi ancaman bagi Israel,” kata Erdan kepada The Source pada hari Senin.
Israel juga tampak waspada terhadap ketentuan dalam rencana tersebut yang menyatakan bahwa gencatan senjata di fase awal akan diperpanjang selama negosiasi berlanjut di fase kedua. Erdan mengatakan, hal itu justru akan memungkinkan Hamas “melanjutkan negosiasi yang tidak berujung dan tidak berarti.”
Menyelesaikan Masalah Ketidakpercayaan
Masalah lain yang dapat menggagalkan upaya gencatan senjata adalah kurangnya rasa percaya antara Israel dan Hamas yang telah berperang sebanyak lima kali dan berkomitmen untuk menghancurkan satu sama lain.
Selain itu, ada pula tekanan yang kuat dan kontras terhadap Netanyahu yang dapat menjelaskan kebimbangannya terkait usulan terbaru itu.
Ribuan warga Israel, termasuk keluarga para sandera, telah melakukan protes dalam beberapa bulan terakhir yang mendesak pemerintah agar membawa pulang para sandera. Mereka bahkan menyatakan rela mengorbankan kesepakatan yang tidak seimbang dengan Hamas.
Namun, mitra sayap kanan dalam koalisi Netanyahu telah menolak rencana yang didukung oleh AS tersebut dan mengancam akan menjatuhkan pemerintahannya jika ia mengakhiri perang tanpa menghancurkan Hamas.
Mereka sangat berambisi untuk menduduki Gaza. Mereka ingin mendorong “emigrasi sukarela” warga Palestina dari wilayah tersebut dan membangun pemukiman Yahudi di sana. Keadaan kian dipersulit dengan tumbuhnya pengaruh sekutu ultranasionalis Netanyahu sejak Benny Gantz, seorang lawan politik beraliran tengah, mengundurkan diri pada hari Minggu dari kabinet perang Israel.
Sulit untuk membayangkan Israel atau Hamas sepenuhnya menyerah pada perundingan. Bagi Israel, hal itu berarti meninggalkan sejumlah sandera yang masih ditahan di Gaza. Bagi Gaza, hal itu akan memperpanjang penderitaan warga Palestina di Gaza dan memberi Israel lebih banyak waktu untuk menghancurkan Hamas.
Namun, Blinken mengisyaratkan bahwa negosiasi tidak akan berlanjut tanpa batas waktu.
“Pada suatu titik dalam negosiasi, dan ini telah berlangsung cukup lama, Anda sampai pada titik di mana jika satu pihak terus mengubah tuntutannya, termasuk membuat tuntutan dan bersikeras mengubah hal-hal yang telah diterima, Anda harus mempertanyakan apakah mereka bertindak dengan itikad baik atau tidak.”
Dilansir dari dan telah tayang di: https://internasional.kompas.com/read/2024/06/14/075205970/inilah-poin-poin-perdebatan-dalam-negosiasi-gencatan-senjata-israel?page=all