Mengapa Publik Ramai-ramai Menolak RUU Penyiaran?


Pegawai swasta melihat siaran televisi di Jakarta, Jumat (30/12/2016). Masyarakat mengkritisi munculnya rumusan lembaga penyiaran khusus di RUU Penyiaran versi 7 Desember.

Pasal mana saja dari Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang mengancam kebebasan pers? Di mana pasal dalam RUU Penyiaran yang memberikan kewenangan lebih kepada KPI? Sampai sejauh mana pembahasan RUU Penyiaran? Sudahkah perumusan draf RUU ini melibatkan publik? Bagaimana sikap Dewan Pers terhadap RUU Penyiaran? Bagaimana komunitas pers menyikapi RUU Penyiaran?

KOMPAS/VINA OKTAVIA Puluhan jurnalis yang tergabung dalam koalisi kebebasan pers Lampung berunjuk rasa menolak draf revisi Undang-Undang atau RUU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Minggu (19/5/2024).

Pasal mana saja dari RUU Penyiaran yang mengancam kebebasan pers?

Draf revisi Undang-Undang Penyiaran yang terbaru menjadi kontroversial karena dianggap akan mengancam kebebasan pers, membatasi informasi publik, hingga membatasi keberagaman konten di ruang digital. Pasal 50 B Ayat (2) dalam RUU Penyiaran dinilai akan mengancam kebebasan pers. Pasal itu memuat Standar Isi Siaran (SIS) yang salah satu poinnya adalah huruf c, melarang penayangan eksklusif jurnalisme investigasi.

Poin pelarangan ini tumpang tindih dengan Pasal 4q UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal yang lahir pascareformasi ini menegaskan bahwa tidak ada lagi ruang untuk tindakan penyensoran, pemberedelan, atau pelarangan karya jurnalistik, termasuk liputan jurnalisme investigasi.

Baca juga: Daftar Pasal Kontroversial dalam Draf Revisi UU Penyiaran

Masih dalam pasal yang sama, pada Huruf g juga disebutkan, SIS akan mencakup larangan penayangan isi siaran dan konten siaran yang menyajikan perilaku homoseksual, biseksual, dan transjender (LGBT). Poin ini tidak berperspektif jender, ruang-ruang berekspresi akan semakin sempit dan membuat kerja-kerja jurnalistik menjadi tidak inklusif.

Di mana pasal dalam RUU Penyiaran yang memberikan kewenangan lebih kepada KPI?

RUU Penyiaran akan memberikan kewenangan berlebihan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). KPI yang selama ini mengawasi TV dan radio akan diperluas untuk mengawasi konten digital juga melalui Pasal 1 Ayat (9) dan Pasal 17 revisi UU Penyiaran.

Artinya, pasal ini nantinya tidak hanya berpotensi mengekang jurnalis, tetapi juga para kreator konten dan pekerja seni karena KPI akan mendapatkan wewenang tambahan untuk menentukan kelayakan konten di platform-platform digital, baik audio maupun visual. Konten yang mengandung unsur kekerasan, rokok, mistis, narkotika, dan gaya hidup negatif akan disensor, lalu mengakibatkan berkurangnya keragaman konten.

Baca juga: RUU Penyiaran Dinilai Ancam Kebebasan Pers

”Konten-konten mereka bisa dianggap memiliki unsur pornografi, kesusilaan, yang mana unsur-unsur ini kan sangat subyektif dan multitafsir. Kalau ini kemudian masuk, konten-konten mereka akan diberedel,” kata Astried Permata dari Jakarta Feminis.

Sampai sejauh mana pembahasan RUU Penyiaran?

Berkas revisi UU Penyiaran dibuat oleh Komisi I DPR dan sekarang sudah diserahkan kepada Badan Legislasi DPR untuk dibahas dalam waktu dekat. Setelah itu, dalam beberapa langkah lagi bisa langsung diserahkan paling lambat sebelum 30 September 2024 atau sebelum sidang paripurna di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta.

Baca juga: Revisi UU Penyiaran Belum Jadi Perhatian Publik

DPR melalui rapat Baleg dengan pemerintah berjanji akan membuka selebar-lebarnya partisipasi bermakna dari publik. ”Sebagai draf tentu penulisannya belum sempurna dan cenderung multitafsir. Tentu setelah menjadi RUU, maka RUU akan diumumkan ke publik secara resmi,” kata Ketua Komisi I DPR Meutya Hafid.

KOMPAS/VINA OKTAVIA Puluhan jurnalis yang tergabung dalam koalisi kebebasan pers Lampung berunjuk rasa menolak draf Revisi Undang-Undang atau RUU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Minggu (19/5/2024).

Sudahkah perumusan Draf RUU ini melibatkan publik?

Proses perumusan Draf RUU Penyiaran dinilai tidak melibatkan masyarakat secara bermakna sehingga berpotensi terjadi tumpang tindih aturan. Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) dan sejumlah organisasi profesi jurnalis atau komunitas pers merasa tidak dilibatkan sehingga pembahasannya dianggap tidak cermat dan justru mengancam kebebasan pers.

”Saya tidak tahu apa yang akan terjadi jika pasal-pasal ini lolos, jurnalisme investigasi itu dasar dari jurnalisme, masyarakat akan dirugikan karena mendapatkan informasi yang ala kadarnya,” kata Ketua Umum Pengurus Pusat IJTI Herik Kurniawan.

Baca juga: Tunda Pembahasan RUU Penyiaran

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Nany Afrida mendesak DPR agar menghentikan pembahasan RUU Penyiaran sampai dengan masuknya anggota DPR periode yang baru. AJI khawatir RUU Penyiaran direvisi demi menjadikannya sebagai alat politik kekuasaan untuk mengebiri kerja-kerja jurnalistik yang profesional dan berkualitas.

”Kami minta ditangguhkan sampai ada anggota DPR yang baru karena ini prosesnya sangat kompleks. Kami melihat rencana untuk menegasikan jurnalisme investigasi itu di luar nalar saya, jurnalisme investigasi itu strata tertinggi dari jurnalisme, tidak semua orang bisa,” kata Nany.

KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu

Bagaimana sikap Dewan Pers terhadap RUU Penyiaran?

Dewan Pers menolak karena UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers tidak dimasukkan dalam pertimbangan RUU Penyiaran. Hal tersebut mencerminkan ketiadaan integrasi jurnalisme berkualitas sebagai produk penyiaran. RUU ini juga dianggap akan mengekang kemerdekaan pers untuk melahirkan produk jurnalistik yang berkualitas.

Pasal 8A Huruf q juncto 42 Ayat (1) dan (2) pada RUU Penyiaran berpotensi menimbulkan tumpang tindih wewenang Dewan Pers dan KPI. Sebab, nantinya KPI juga berwenang menyelesaikan sengketa tayangan jurnalistik yang seharusnya diselesaikan Dewan Pers sesuai dengan UU Pers.

Baca juga: Dewan Pers Menolak Draf RUU Penyiaran

Pasal tersebut juga menghapus Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers sebagai rujukan dalam menilai siaran-siaran produk jurnalistik, mengalihkan penilaian menggunakan P3 dan SIS. Hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum pada mekanisme penyelesaian sengketa pers.

”Penyelesaian itu justru akan dilakukan oleh lembaga yang sebetulnya tidak punya mandat penyelesaian etik terhadap karya jurnalistik. Mandat penyelesaian sengketa karya jurnalistik itu ada di Dewan Pers dan itu dituangkan dalam UU (Pers),” kata Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu, Selasa (14/5/2024).

Bagaimana komunitas pers menyikapi RUU Penyiaran?

Puluhan jurnalis dari berbagai organisasi menyuarakan penolakan terhadap draf RUU Penyiaran saat berunjuk rasa di depan Gedung DPR, Jakarta, Senin (27/5/2024). Selain berorasi, mereka juga membentangkan spanduk dan poster yang mengkritisi RUU tersebut karena dianggap mengancam kebebasan pers, kebebasan berekspresi, dan demokrasi.

RUU Penyiaran tidak hanya berdampak terhadap komunitas pers, tetapi juga masyarakat luas. Sebab, di dalamnya terdapat pasal-pasal kontroversial yang dapat menghambat kerja-kerja jurnalistik dalam menyampaikan informasi berkualitas kepada publik.

Oleh sebab itu, pembahasan RUU itu harus dihentikan. Menurut dia, jika RUU tetap dibahas dengan mempertahankan pasal-pasal bermasalah, demokrasi di Indonesia akan mengalami kemunduran.

Salah satu pasal kontroversial dalam draf RUU Penyiaran adalah Pasal 50 B Ayat 2 Huruf C terkait Standar Isi Siaran yang salah satu poinnya melarang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. Padahal, pemberitaan investigasi sangat penting dalam mengungkap kebenaran suatu kasus.

Baca juga: Komunitas Pers Minta Pembahasan RUU Penyiaran Dihentikan

Pasal kontroversial lainnya adalah Pasal 50 B Ayat 2 Huruf C terkait penayangan Isi Siaran dan Konten Siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, dan pencemaran nama baik. Pasal ini sangat multitafsir, terutama menyangkut penghinaan dan pencemaran nama baik.

Selain itu, Pasal 8 A Huruf Q dan Pasal 42 Ayat 2 terkait penyelesaian sengketa jurnalistik penyiaran dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan ini bersinggungan dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang mengamanatkan penyelesaian sengketa jurnalistik dilakukan di Dewan Pers.

Dengan berbagai pasal kontroversial itu, RUU Penyiaran jangan dibahas dengan tergesa-gesa. Apalagi, masa jabatan anggota DPR periode 2019-2024 tinggal sekitar empat bulan lagi.


Dilansir dari dan telah tayang di: https://www.kompas.id/baca/humaniora/2024/05/27/mengapa-penolakan-terhadap-ruu-penyiaran-meluas-apa-saja-sisi-kontroversi-ruu-ini