Para korbannya dikenai biaya sekitar Rp 5 juta oleh Enik. Saat itu ada sekitar 100 orang lebih yang mendaftar dan berharap dapat magang di luar negeri. Belakangan, para korban tersebut akhirnya gagal berangkat walaupun telah membayar mahar kepada Enik.
Menurut pengakuan mantan stafnya, sekitar September 2020 kantor PT Sinar Harapan Bangsa Kita di Madiun digerebek oleh kepolisian. Penggerebekan itu dilakukan karena perusahaan tersebut ternyata tidak memiliki izin usaha dan berupaya melakukan pengiriman tenaga kerja ke luar negeri secara ilegal menggunakan visa wisata. Belakangan, modus yang sama juga dilakukan oleh Enik kepada para mahasiswa.
Setelah penggerebekan, sejumlah staf Enik diperiksa polisi. Perusahaan dinyatakan dilarang beroperasi sampai memiliki izin usaha yang sesuai. Adapun kantor PT Sinar Harapan Bangsa Kita diminta ditutup dan papan nama perusahaan diturunkan.
Menurut dokumen yang tertera di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kemenkumham, PT Sinar Harapan Bangsa masih beralamatkan di Jalan Raya Dungus Kare, RT 07 RW 01, Kelurahan Wungu, Kecamatan Wungu, Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Namun, menurut pengakuan mantan stafnya, di lokasi tersebut hingga hari ini tidak ada lagi kantor yang dimaksud.
Dalam dokumen itu, Enik memiliki dua nama dengan tempat tanggal lahir yang berbeda. Pertama ia disebut sebagai Enik Rutita lahir di Madiun, 8 November 1986, menjabat Komisaris PT Sinar Harapan Bangsa Kita. Ia tercatat memegang 1.238 lembar saham dari perusahaan itu dengan nilai sekitar Rp 1,2 miliar.
Kedua, di dokumen yang sama, ia juga disebut sebagai Enyk Rutita, yang lahir di Banjarmasin pada 8 November 1984. Selain Enik, ada nama lain, yaitu Ayub Marjuki, yang tercatat sebagai Direktur PT Sinar Harapan Bangsa Kita. Di sana Ayub tercatat lahir di Madiun pada 6 Juli 1984. Menurut salah satu sumber detikX, Ayub disebut sebagai kakak kandung Enik.
Menurut catatan kepolisian, di kasus terbaru, peran Enik tak jauh berbeda. Kali ini ia turut aktif keliling ke sejumlah kampus untuk menjajakan program ferienjob. Tak hanya itu, ia juga memberikan iming-iming kepada perguruan tinggi yang menandatangani MoU akan mendapatkan dana CSR.
detikX telah menghubungi dua nomor yang tertera di laman dan situs PT Sinar Harapan Bangsa untuk berkomunikasi dengan Enik ataupun Ron. detikX juga telah berupaya memberikan ruang penjelasan dengan menghubungi mereka melalui nomor dan surel SHB Agency. Namun melalui surel SHB Agency, detikX diminta menghubungi kuasa hukum Enik dan perusahaannya.
Kuasa hukum PT Sinara Harapan Bangsa Kita sekaligus Enik, Husni Az-Zaky mengatakan dirinya tidak tahu menahu terkait riwayat kasus yang menjerat kliennya sebelumnya. Ia hanya diberi wewenang terkait dugaan kasus TPPO yang sedang diusut oleh kepolisian. Husni berdalih kliennya mengklaim sejak awal tidak menyetujui istilah magang karena ferienjob memang bukan magang. Pihaknya justru menuding PT CV-Gen dalam hal ini Ami (bersama Sihol Situngkir dan perguruan tingggi) yang menganggap seolah-olah program tersebut adalah magang.
"Di dalam kontrak yang disepakatkan itu hanya bahasa Working Holiday gitu jadi praktek kerja lah karena kan hanya 3 bulan, nah ketika itu bahasa magang, itu udah berbeda dengan artikulasi dengan kerja. Magang dengan kerja kan berbeda, apalagi di statusnya masih mahasiswa," kata Husni kepada detikX pada Jumat 29 Maret 2024.
Walaupun menolak istilah magang, Enik tetap menandatangani perjanjian (MoU) dengan pihak perguruan tinggi. Ia beralasan tidak sempat membaca isi perjanjian itu secara menyeluruh.
"Nah, dari pihak UNJ dan lain-lain nih saya bilang di sini UNJ ada dan Ibu Ami (Amsulistiani Ensch) juga dan lain-lain yang ada di situ, menyampaikan bahwa ini (MoU) hanya apa namanya formalitas untuk keberangkatan para mahasiswa. Nah saat itu ya apa namanya, gak ada kesempatan untuk membaca, akhirnya ditandatangani sama ibu Eni," ucapnya.
Menurut Zaky, sejak awal kliennya bertugas mengurus segala berkas dan kerja sama dengan perusahaan di Jerman. Adapun untuk promosi digital dan pemasaran program ke jejaring perguruan tinggi serta mahasiswa diserahkan kepada PT CV-Gen, dalam hal ini Amsulistiani Ensch. Namun saat ditanya terkait pengggunaan visa wisata, Zaky mengaku kurang tahu. Menurut informasi yang ia terima dari kliennya, visa yang digunakan bukan visa wisata. Hal ini bertentangan dengan keterangan dari pihak kepolisian.
Zaky juga menuding PT CV-Gen dan Amsulistiani Ensch melakukan mark-up biaya yang dibebankan atau ditagihkan kepada mahasiswa. Kliennya memang memungut biaya kepada mahasiswa untuk program tersebut. Jumlahnya diklaim tetap proporsional. Namun Zaky menolak saat ditanya jumlah dana yang dikenakan kliennya untuk tiap mahasiswa.
Dilansir dari dan telah tayang di: https://news.detik.com/x/detail/spotlight/20240328/Membongkar-Jejaring-Kasus-TPPO-Mahasiswa-di-Jerman/