KOMPAS.com Sebuah video di media sosial baru-baru ini memperlihatkan sejumlah batu nisan makam orang Tionghoa dijadikan penutup selokan di Kota Semarang, Jawa Tengah.
Setelah video itu menuai perdebatan dan kecaman warganet, aparat Kelurahan Jomblang, Kecamatan Candisari, Kota Semarang, membongkar belasan batu nisan alias bongpay di Jalan Sapuan Barat.
Lurah Jomblang, Henry Nur Cahyo, mengatakan bongpay berusia ratusan tahun itu memang banyak dimanfaatkan warga sekitar. Tetapi, dari mana batu nisan itu diperoleh tak ada yang tahu.
Ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Provinsi Jateng, Bambang Wuragil, menyesalkan kejadian ini dan berharap pemda melakukan upaya persuasif kepada warga supaya tidak terulang.
Baca juga: Bus Rosalia Indah Terbakar di Tol Semarang-Solo
Tindakan warga yang mengambil atau menjarah makam-makam kuno Tionghoa harus dihentikan, kata pegiat sejarah di Semarang.
Sebab, meskipun mayoritas kuburan kuno itu terlantar karena tak diurus oleh ahli warisnya, bongpay kaya akan sejarah Kota Semarang di masa lalu.
Bagaimana kronologinya?
Sebuah video berdurasi satu menit yang memperlihatkan batu-batu penutup selokan rumah seorang warga di Jalan Sapuan Barat, Kelurahan Jomblang, Kecamatan Candisari, Kota Semarang, viral di media sosial.
Video viral itu ramai diperbincangkan warganet karena jejeran batu dengan panjang bervariasi antara 40cm-75cm dan lebar 15cm-25cm tersebut diduga adalah nisan milik orang Tionghoa.
Sebab di tiap-tiap batu terdapat tulisan Hanzi yang memuat silsilah, marga, dan periode kematiannya yang diperkirakan berasal dari abad ke-18 hingga ke-19 Masehi.
Baca juga: Sejarah Panjang Banjir Kepung Kota Semarang
BBC Indonesia/Kamal Ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Provinsi Jateng, Bambang Wuragil. Ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Provinsi Jateng, Bambang Wuragil.
Lurah Jomblang, Henry Nur Cahyo, mengatakan batu nisan kuno seperti ini memang banyak dimanfaatkan masyarakat setempat. Tapi dari mana benda itu diperoleh tak ada yang tahu.
"Kalau ditanya warga, mereka punya bongpay [batu nisan] dari mana. Mereka juga tidak tahu dan ada sudah sejak zaman kakek neneknya," ucapnya kepada wartawan Kamal yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Sebuah video berdurasi satu menit yang memperlihatkan batu-batu penutup selokan rumah seorang warga di Jalan Sapuan Barat, Kelurahan Jomblang, Kecamatan Candisari, Kota Semarang, viral di media sosial.
Video viral itu ramai diperbincangkan warganet karena jejeran batu dengan panjang bervariasi antara 40cm-75cm dan lebar 15cm-25cm tersebut diduga adalah nisan milik orang Tionghoa.
Sebab di tiap-tiap batu terdapat tulisan Hanzi yang memuat silsilah, marga, dan periode kematiannya yang diperkirakan berasal dari abad ke-18 hingga ke-19 Masehi.
Baca juga: Penuhi Kebutuhan Pokok Warga Terdampak Banjir di Semarang, Mbak Ita Pastikan Gizi Mereka Tercukupi
Lurah Jomblang, Henry Nur Cahyo, mengatakan batu nisan kuno seperti ini memang banyak dimanfaatkan masyarakat setempat. Tapi dari mana benda itu diperoleh tak ada yang tahu.
"Kalau ditanya warga, mereka punya bongpay [batu nisan] dari mana. Mereka juga tidak tahu dan ada sudah sejak zaman kakek neneknya," ucapnya kepada wartawan Kamal yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Kalau merujuk pada sejarah permukiman di Jomblang, menurut Henry, daerah ini sebelumnya adalah area permakaman orang China yang kemudian berubah menjadi perkampungan.
Pihak kelurahan, sambung Henry, juga sudah membongkar penutup selokan warganya yang menggunakan batu nisan dari makam kuno Tionghoa, pada Kamis (14/03) siang.
Langkah itu dilakukan setelah dirinya menerima arahan dari Wali Kota Semarang.
Total ada 17 batu nisan yang dibongkar dan akan diserahkan ke Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Provinsi Jateng.
Baca juga: Cerita Korban Banjir Semarang Bertahan Tanpa Listrik dan Kekurangan Air Selama 3 Hari
"Kita menghormati apa yang menjadi dasar surat Paguyuban Tionghoa, dan ada petunjuk dari Wali Kota Semarang makanya kita mengambil langkah tindakan komunikasi ke warga dan warga bisa menerima makanya kami bongkar salurannya."
"Kami betulkan untuk bongpay kita taruh di kelurahan. Nantinya kita teruskan komunikasi dengan pihak yayasan Tionghoa."
Kisah 'Cina Benteng' yang mengais rezeki dari makam
BBC News Indonesia berupaya meminta keterangan dari warga yang menggunakan batu nisan untuk menutup selokan miliknya. Tapi mereka menolak ditemui.
Pemantauan di lapangan memperlihatkan penutup selokan itu sudah dicor dengan beton yang dibiayai oleh Kelurahan Jomblang.
Baca juga: Meski Banjir di Kota Semarang Mulai Surut, Pemkot Terus Aktifkan 28 Pompa di Sejumlah Titik
Dijadikan tempat pembungan sampah bahkan dijarah
BBC Indonesia/Kamal Satu batu nisan makam Tionghoa kuno itu memiliki berat sekira 200 kilogram hingga 500 kilogram. Satu batu nisan makam Tionghoa kuno itu memiliki berat sekira 200 kilogram hingga 500 kilogram.
Ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Provinsi Jateng, Bambang Wuragil, mengatakan penggunaan batu nisan makam Tionghoa kuno secara sembarangan bukan kali pertama ini terjadi.
Dari informasi yang dia peroleh, ada makam Tionghoa kuno yang dijadikan tempat pembuangan sampah oleh warga. Bahkan ada juga yang dijarah isi makamnya.
Bambang Wuragil tak mengetahui pasti mengapa hal itu bisa terjadi. Tapi kemungkinannya karena makam-makam tersebut sudah tak ada yang lagi merawat hingga dibiarkan terlantar.
"Biasanya makam begitu, yang biasanya lama enggak ditengok, kalau wajarnya kan pemakaman itu ada iuran untuk perawatan," ujar Bambang kepada BBC News Indonesia.
Baca juga: Cerita Mahasiswi di Semarang Kesulitan Cari Makan karena Banjir Kepung Kosnya
Pasca-kejadian di Kelurahan Jomblang, Bambang menambahkan, PSMTI akan mendata kasus-kasus serupa yang juga terjadi di daerah lain.
Jika menemukan, maka pihaknya akan menawarkan bantuan berupa batu beton sebagai pengganti kepada warga.
Adapun untuk makam yang dijadikan tempat pembuangan sampah, bakal dibuatkan tempat pembuangan sampah yang baru di lokasi tersebut.
"Tetapi makam yang dijarah akan dilaporkan ke kepolisian, supaya tidak terjadi lagi. Apakah yang menjarah bisa dipidana sebagai efek jera."
"Jangan sampai penjarahan makam ini sampai kebablasan, kalau ada satu atau dua kasus bisa jadi berlanjut. Kami harapkan ada tindakan persuasif dari pihak berwajib."
Baca juga: Terendam Banjir 3 Hari, Warga Semarang Mulai Batuk dan Gatal-gatal
Bagi PSMTI, meskipun makam-makam kuno tersebut tidak dirawat oleh ahli waris atau keluarganya, semestinya makam tetap diperlakukan dengan baik sebagaimana kebiasaan masyarakat merawat makam leluhur mereka.
Untuk itu terhadap batu nisan yang diambil dari warga akan didata, dikumpulkan, dan sedang dipertimbangkan apakah bakal dibuatkan museum.
"Kalau sudah dikumpulkan akan jadi apa... butuh pemikiran lagi. Mungkin bisa dijadikan museum."
"Sebab budaya Tionghoa sama seperti budaya Jawa, selalu menghormati leluhur bahwa orang tua harus dijunjung di atas kepala, demikian juga makam. Itu kan leluhur, harus dihormati."
"Kita ada karena mereka. Tanpa mereka kita enggak akan ada, tidak dilahirkan."
Baca juga: Selundupkan Sabu untuk Pacar di Lapas Semarang, Perempuan Ini Mengaku Dijanjikan Rp 2 Juta
Bagaimana sejarah pemakaman orang Tionghoa?
ANTARA Jatim/ Ach Kapolresta Kediri AKBP Miko Indrayana saat mengecek barang bukti relief yang diambil dari makam Tionghoa (Bong China) di Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri, Jawa Timur, Selasa (27/10/2020). Kapolresta Kediri AKBP Miko Indrayana saat mengecek barang bukti relief yang diambil dari makam Tionghoa (Bong China) di Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri, Jawa Timur, Selasa (27/10/2020).
Pegiat sejarah Semarang, Rukardi, bercerita penggunaan batu nisan dari makam kuno Tionghoa untuk kebutuhan warga sudah berlangsung lama.
Ada yang dijadikan alas mencuci baju, fondasi rumah, dan ada pula yang dijarah.
Menilik ke belakang, keberadaan makam kuno Tionghoa di Semarang pertama kali tercatat berada di kawasan Kampung Pekojan yang kini ditinggali etnis India-Pakistan.
Di masa kolonial Belanda, itu adalah kawasan pecinan sekaligus permakaman umum pertama peranakan Tionghoa.
Namun karena Belanda ingin memperluas bentengnya dan ketika Semarang yang sudah mendapatkan hak otonom hendak memperluas daerahnya, maka orang-orang Tionghoa di sana diusir.
Baca juga: Curi Relief di Makam Tionghoa dan Dijual Rp 400.000 Per Potong, 4 Warga Kediri Ditangkap Polisi
"Makam Tionghoa dipindah lagi ke atas, kawasan Candi."
"Sebab di Semarang bawah sedang berkecamuk wabah penyakit jadi pindah ke atas," jelas Rukardi.
"Orang-orang Tionghoa juga percaya pada fengshui, bagi mereka kawasan perbukitan yang menghadap laut punya fengsui bagus. Maka mereka sangat suka bikin makam di lereng perbukitan seperti di Candi Baru."
Pemindahan makam warga Tionghoa rupanya tak berhenti di situ.
Belanda, sambung Rukardi, lagi-lagi hendak membuat kota baru. Sempat terjadi perdebatan antara warga Tionghoa dan Belanda soal ini.
Tapi Belanda berdalih bahwa kepentingan orang hidup lebih penting daripada orang mati. Itu mengapa akhirnya warga Tionghoa mengalah dan untuk ketiga kalinya memindahkan makam mereka.
Baca juga: Mengapa Makam Tionghoa Berukuran Besar? Ini Penjelasannya...
"Maka makam-makam di kawasan Candi dipindah ke arah timur, ke daerah Jomblang sampai Kedungmundu."
"Dalam perkembangannya makam-makam itu digusur juga oleh orang pribumi untuk permukiman dengan mendirikan rumah. Makanya batu-batu nisan kalau makamnya tidak diurus ahli waris, bertebaran dan banyak sekali."
Rukardi tak tahu pasti status tanah makam-makam kuno Tionghoa yang berada di daerah Jomblang apakah milik pribadi atau tercatat dalam administrasi kota.
Sebab ketika Belanda keluar dari Semarang, terjadi kekacauan. Hukum yang diberlakukan Belanda dinyatakan tidak berlaku. Segala hal yang berkaitan dengan kolonialisme, katanya, dilenyapkan.
"Barangkali di zaman dulu ada izin membuat makam di kawasan itu. Tapi ketika Belanda pergi siapa yang peduli pada hal-hal itu? Sementara ahli waris tidak tahu kemana."
Baca juga: Mengunjungi Situs Nduro di Watudandang, Makam Kuno Bukti Syiar Islam di Nganjuk Era Majapahit
Inilah yang menjadi cikal bakal mengapa di sekitar makam kuno Tionghoa berdiri antara rumah-rumah warga.
Di Kelurahan Jomblang misalnya, kata Rukardi, saat ini sudah 100% kawasan permukiman. Nyaris tak lagi ditemukan makam.
Kalaupun ada makam atau batu nisan, bukan hal yang aneh dan malah dipakai untuk kebutuhan sehari-hari warga.
Mereka dengan santai dan tanpa takut membongkar makam kemudian mengambil bebatuan makam yang terbuat dari marmer-andesit.
"Semisal batu batanya untuk bangun rumah, peti kayunya diambil untuk mebel, ada harta peninggalan di dalam makam dicuri, arca berbentuk singa jadi hiasan gapura."
Baca juga: Air Waduk Gajah Mungkur Wonogiri Surut, Muncul Makam Kuno dan Kuburan Anggota PKI
"Penjarahan makam kuno harus dihentikan"
ANTARA FOTO via BBC INDONESIA Sejumlah warga keturunan Tionghoa melalukan sembahyang Kongco di Vihara Widhi Sakti, Kota Sukabumi, Jawa Barat, Jumat (2/2/2024). Sejumlah warga keturunan Tionghoa melalukan sembahyang Kongco di Vihara Widhi Sakti, Kota Sukabumi, Jawa Barat, Jumat (2/2/2024).
Rukardi menyebut tindakan masyarakat yang mengambil atau menjarah makam-makam kuno Tionghoa harus dihentikan. Sebab, katanya, apapun yang berkaitan dengan peninggalan masa lalu meskipun lingkupnya hanya sejarah keluarga, tetap penting untuk didokumentasikan.
Karena dari makam-makam kuno itulah jejak atau perjalanan Kota Semarang bisa diketahui.
"Semarang ini dulu kota dagang, didatangi imigran China sejak berabad lalu dan mereka berdatangan terus dari generasi ke generasi hingga beranak-pinak."
"Kalau makam itu hilang, maka kita kehilangan sejarah. Di makam kuno itu biasanya tertulis tahun atau periode dinasti, marga, silsilah."
Baca juga: Asal-usul Masjid Tjia Kang Hoo Dibangun di Bekas Rumah Kakek Tionghoa yang Mualaf
"Meski itu informasinya lingkup kecil, tapi apapun namanya sejarah berbasis jejak, sumber. Makin banyak sumber, sejarah kita akan kaya."
Itu mengapa dia berharap pemkot Semarang memberikan perhatian khusus pada makam-makam kuno yang tersisa.
Bisa dengan menetapkan makam kuno itu sebagai situs cagar budaya. Atau menggandeng paguyuban keluarga Tionghoa mendirikan museum peranakan Tionghoa.
"Tidak ada cara lain untuk menyelamatkan makam itu ketika sebagian masyarakat belum teredukasi, akan susah."
"Bagi warga makam itu enggak ada nilai sejarahnya. Nilai untuk mereka itu material bagus yang bisa dipakai macam-macam."
Baca juga: Menilik Keindahan Arsitektur Tionghoa di Masjid Tjia Kang Hoo Pasar Rebo
Apa langkah Pemkot Semarang?
Kepala Seksi Sejarah dan Cagar Budaya Pemkot Semarang, Haryadi Dwi Prasetyo, mengaku menyayangkan kejadian nisan makam Tionghoa kuno di wilayahnya digunakan warga tidak sesuai fungsinya.
Karena nisan makam ini, sebutnya, menjadi bagian sejarah Semarang yang harus dijaga, dirawat agar bukti memori kolektif tidak hilang dan bergeser daripada nilai sejarahnya.
Langkah pemda untuk menyelamatkan makam-makam kuno tersebut pihaknya akan berkoordinasi dengan pemangku wilayah, tokoh masyarakat.
"Termasuk memberikan edukasi kepada warga untuk saling menghormati antar-umat beragama dan mengimbau kepada masyarakat untuk menjaga makam Tionghoa," tuturnya kepada BBC News Indonesia.
Pemda, sambungnya, akan terus melakukan pengawasan sekaligus melakukan pembinaan tentang nilai penting dan nilai sejarah Kota Semarang.
Dilansir dari dan telah tayang di: https://regional.kompas.com/read/2024/03/17/051500878/kontroversi-batu-nisan-makam-kuno-tionghoa-di-semarang-dijadikan-penutup?page=all