Kekecewaan Sumarsih kepada Jokowi Urungkan Niatnya Berhenti Aksi Kamisan Halaman all


JAKARTA, KOMPAS.com Aktivis hak asasi manusia (HAM) sekaligus penggagas aksi Kamisan, Maria Catarina Sumarsih, merasa kecewa ketika Presiden Joko Widodo menyematkan pangkat jenderal kehormatan kepada Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Sebab, Dewan Kehormatan Perwira (DKP) pernah memutuskan memberhentikan Prabowo dari dinas kemiliteran karena terbukti terlibat penculikan dan penghilangan paksa aktivis 1997/1998 menjelang lengsernya Presiden Soeharto. “Pemberian gelar kehormatan bintang empat kepada Prabowo Subianto terasa aneh. Seorang jenderal yang diberhentikan oleh sebuah dewan yang berkompeten dan sah, telah dilakukannya. Kini patut dipertanyakan, ada ‘kepentingan pribadi’ Presiden Jokowi begitu sigap memberikan gelar kehormatan,” ujar Sumarsih kepada Kompas.com, Kamis (29/2/2024) petang. Baca juga: Massa Aksi Kamisan Bacakan Petisi Tolak Dukung Prabowo-Gibran Sumarsih yang merupakan ibunda dari Norma Irmawan alias Wawan, mahasiswa Atma Jaya korban Tragedi Semanggi I, menyebutkan bahwa Presiden Jokowi memutar balik semangat reformasi dan demokrasi yang diperjuangkan gerakan mahasiswa pada 1998. Sumarsih juga mengingatkan kepada Jokowi bahwa Kepala Negara pernah mengakui dan menyesalkan terjadinya 12 peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu, salah satunya penculikan dan penghilangan paksa aktivis 1997/1998. “Video yang memberitakan Prabowo membentuk Tim Mawar untuk melakukan penculikan dan Surat Keputusan Dewan Kehormatan Perwira tentang pemberhentian Prabowo dari kesatuan TNI beredar di masyarakat,” kata Sumarsih. Sumarsih juga mengutip pernyataan Jokowi ke staf khusus presiden, Fadjroel Rachman, yang yang dimuat Harian Kompas pada 23 September 2021. “Mas Fadjroel, seperti Mas Fadjroel adalah pejuang reformasi, saya adalah orang yang dilahirkan dari reformasi. Menjadi wali kota karena reformasi, menjadi gubernur karena reformasi, menjadi presiden karena reformasi. Tidak mungkin saya mengkhianati reformasi dan demokrasi,” kata Jokowi ke Fadjroel saat itu. “Tetapi, justru kini Presiden Jokowi menjadi pengkhianat reformasi dan demokrasi,” tutur Sumarsih. Baca juga: Massa Aksi Kamisan Ogah Dukung Prabowo-Gibran, Usman Hamid: Bentuk Ekspresi Politik Damai Sempat ingin berhenti Kamisan Sumarsih mengakui bahwa dirinya sempat berencana berhenti aksi Kamisan karena percaya Jokowi berkomitmen menuntaskan kasus pelanggaran HAM, termasuk kasus Tragedi Trisakti I yang menewaskan anaknya. Sumarsih juga sempat berkampanye agar memilih Jokowi pada Pilpres 2014. “Sebelumnya saya kampanye 'Ayo pilih Jokowi' karena Pak Jokowi memberi pengharapan yang sangat besar bagi saya,” kata Sumarsih. Jokowi, kata Sumarsih, berkomitmen menyelesaikan perkara penembakan Wawan dan kawan-kawannya dalam perkara Tragedi Semanggi I, Semanggi II dan Trisakti. “Termasuk kerusuhan 13-15 Mei 1998, penghilangan orang secara paksa, Talangsari Lampung, Tanjung Priok, dan 1965. Juga berkomitmen menghapus impunitas seturut dengan yang diperjuangkan dalam Aksi Kamisan,” ucap Sumarsih. Baca juga: 17 Tahun Aksi Kamisan, Berjuang Menuntut Keadilan sampai Akhir Hayat... Saat proses penghitungan suara Pilpres 2014, Sumarsih melihat perolehan suara Jokowi unggul. Ia pun yakin mantan Wali Kota Surakarta itu akan menang. Pada hari Kamisan, Sumarsih berefleksi. “Saya akan berhenti Aksi Kamisan karena saya percaya penuh Presiden Jokowi menepati janji,” kata Sumarsih saat itu. Namun, rencana itu terdengar ke kuping para aktivis 98 yang lain. “Beberapa orang datang ke rumah, mengadakan diskusi yang kemudian meminta agar saya tidak berhenti Aksi Kamisan karena belum tentu Pak Jokowi menepati janji,” ujar Sumarsih. Pangkat Prabowo tuai kontra Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai, penyematan pangkat ke Prabowo itu menjadi keputusan yang problematik. “Presiden (Joko Widodo) mungkin tak akan terhalang secara politik untuk melakukan keputusan tersebut, tapi dari segi moral dan etika, tentu menjadi keputusan yang problematik,” kata Usman saat dihubungi, Selasa (27/2/2024). Usman mengatakan, pemberian pangkat jenderal kehormatan itu tidak akan diterima sebagai alasan pencucian dosa bagi pelaku pelanggaran HAM berat. “Secara hukum, khususnya hukum internasional hak asasi manusia maupun hukum pidana internasional, keputusan itu tidak akan diterima,” ujar Usman. “Jangan sampai pemberian pangkat kehormatan akan dipandang "mencuci" kontroversi masa lalu karier militer Prabowo terkait pelanggaran HAM masa lalu. Impunitas tetap tidak boleh dibiarkan atau dinormalkan,” kata dia. Baca juga: Program Prabowo-Gibran Dibahas Kabinet Jokowi, Anies: Ada Persoalan Etika Hal senada juga diungkapkan Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan. Menurut Halili, pemberian pangkat itu keputusan problematik. Sebab, Prabowo berhenti dari militer bukan karena pensiun, melainkan diberhentikan. “Sebuah kontradiksi jika sosok yang diberhentikan dari dinas kemiliteran kemudian dianugerahi gelar kehormatan kemiliteran,” kata Halili dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Rabu (28/2/2024). Berdasarkan keputusan DKP memberhentikan Prabowo, Setara Institute menilai, negara jelas menyatakan bahwa Prabowo merupakan seorang pelanggar HAM. Pemberian gelar kehormatan jenderal bintang empat ke Prabowo pun dinilai bentuk penghinaan dan merendahkan korban serta para pembela HAM, terutama yang terlibat tragedi penculikan aktivis 1997-1998. “Maka, langkah politik Jokowi tersebut nyata-nyata bertentangan dengan hukum negara tentang pemberhentian Prabowo, dan pada saat yang sama melecehkan para korban dan pembela HAM yang hingga detik ini terus berjuang mencari keadilan,” ujar Halili. Baca juga: Anies-Muhaimin Kompak Berikan Ucapan Selamat ke Prabowo atas Pangkat Jenderal Kehormatan Selain itu, Halili menilai, pangkat jenderal kehormatan untuk Prabowo tidak sah dan ilegal. Sebab, Undang-undang Nomor 34 Tahun 204 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) tidak mengenal bintang kehormatan sebagai pangkat kemiliteran. Menurutnya, bintang sebagai pangkat militer untuk perwira tinggi hanya berlaku untuk TNI aktif, bukan purnawirawan atau pensiunan. Hal itu jika mengacu pada Undang-undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, tanda kehormatan bintang terbagi menjadi Bintang Gerilya, Bintang Sakti, Bintang Dharma, Bintang Yudha Dharma, Bintang Kartika Eka Paksi, Bintang Jalasena, dan Bintang Swa Bhuwana Paksa. Secara spesifik, Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 18 Tahun 2012 menyebutkan bahwa kenaikan pangkat istimewa diberikan kepada pegawai negeri sipil (PNS) dengan prestasi luar biasa baik. Sementara itu, kenaikan pangkat luar biasa (KPLB) diberikan ke prajurit yang mengemban penugasan khusus dengan pertahanan jiwa dan raga secara langsung dan berjasa dalam panggilan tugasnya. Merujuk dua kategori tersebut, Halili berpendapat, Prabowo tidak masuk kualifikasi. Apalagi, Prabowo pensiun dari militer karena diberhentikan melalui KEP/03/VIII/1998/DKP dan Keppres Nomor 62 Tahun 1998, bukan karena memasuki usia pensiun. “Dengan demikian, keabsahan pemberian bintang kehormatan itu problematik. Sebuah kontradiksi jika sosok yang diberhentikan dari dinas kemiliteran, kemudian dianugerahi gelar kehormatan kemiliteran,” kata Halili. Baca juga: Gelar Jenderal Kehormatan Dianggap Cara Jokowi Mengikat Prabowo Selain itu, dari sisi etika, pemberian bintang kehormatan untuk Prabowo juga dianggap bermasalah. Menurut Halili, Presiden seharusnya lebih memikirkan nasib rakyat yang kini sedang mengalami kesulitan ekonomi serius karena naiknya harga beras dan sembako lainnya.

Dilansir dari dan telah tayang di: https://nasional.kompas.com/read/2024/03/02/08354971/kekecewaan-sumarsih-kepada-jokowi-urungkan-niatnya-berhenti-aksi-kamisan?page=all