Kasus dugaan pelecehan seksual di Universitas Pancasila, korban: 'Tidak apa-apa saya buka aib, asal mendapatkan keadilan'


Kasus dugaan pelecehan seksual di Universitas Pancasila, korban: 'Tidak apa-apa saya buka aib, asal mendapatkan keadilan' Sumber gambar, Getty Images Keterangan gambar, Aktivis dari gerakan anti-kekerasan perempuan memegang spanduk bertuliskan "kebebasan bebas dari kekerasan seksual" saat protes terhadap pelecehan seksual dan kekerasan terhadap perempuan di kampus-kampus pada 10 Februari 2020. 8 jam yang lalu Dugaan pelecehan seksual yang terjadi di Universitas Pancasila disebut sebagai "kasus pertama yang menjerat pejabat tertinggi di kampus". Polisi harus segera menguak kejahatan tersebut, kata aktivis perempuan. Aktivis perempuan, Adriana Venny, juga berkata kasus tersebut menjadi peringatan keras bagi kampus agar serius mengimplementasikan Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual. Kuasa hukum korban, Amanda Manthovani, menyebut kliennya mengalami trauma berat dan berharap segera mendapatkan keadilan. Para korban berkata tak mau ada korban pelecehan seksual lain di kampus tersebut. Sementara itu, Kemendikbudristek akan menindaklanjuti peristiwa ini sesuai Permendikbudristek tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) adan akan melakukan investigasi bersama-sama bersama pihak terkait. Seperti apa kronologi kasusnya? Pengacara Amanda Manthovani mengatakan korban dugaan pelecehan seksual yang dilakukan Rektor Universitas Pancasila, Edie Toet Hendratno, berjumlah dua orang. Dua korban ini, katanya, berstatus pegawai honorer dan karyawan. Dari pengakuan para korban, kejadian itu berlangsung pada Januari dan Februari 2023. Modus yang dipakai terduga pelaku adalah meminta korban untuk datang ke ruangannya untuk membicarakan pekerjaan. Korban pertama yang berusia masih 25 tahun, kata Amanda, syok berat ketika beberapa bagian tubuhnya digerayangi terduga pelaku tanpa persetujuannya. Dalam kondisi kaget dan ketakutan, dia langsung keluar dengan menangis sejadi-jadinya. "Dia keluar ruangan, nangis-nangis, syok, diam, gemetar...," ujar Amanda kepada BBC News Indonesia. Sumber gambar, Getty Images Keterangan gambar, Sejumlah mahasiswa memegang spanduk yang meminta agar kasus pelecehan sksual di Universitas Negeri Padang diusut dan pelakunya dipecat. Selang sebulan, giliran korban kedua yang mengalami. Waktu itu, menurut Amanda, korban dipanggil untuk ke ruangan rektor untuk membahas soal pekerjaan. Korban lantas duduk di kursi yang berhadapan dengan terduga pelaku. Namun terduga pelaku perlahan bangkit dari kursinya dan duduk di dekat korban. "Tiba-tiba rektor itu menghampiri dan mencium pipi korban. Korban langsung berdiri dan mau keluar ruangan dengan bilang, 'Jangan gitu Prof sama saya, saya enggak mau'." Tapi terduga pelaku, sambung Amanda, malah minta kepada korban untuk meneteskan obat tetes mata dengan dalih matanya merah. Padahal korban sudah menyatakan menolak. "Cuma yang namanya relasi kuasa, akhirnya dia [korban] mau tetesin obat, dan di saat itulah terduga pelaku ini menyentuh bagian vital yang enggak boleh disentuh." Atas kejadian pelecehan seksual itu, kedua korban diketahui sudah melayangkan surat kepada Yayasan Pendidikan dan Pembina Universitas Pancasila dengan harapan ada penyelesaian terhadap peristiwa tersebut. Akan tetapi, kata Amanda, tak ada tanggapan sama sekali. Hingga akhirnya korban memilih melaporkan ke polisi. "Banyak yang bertanya kenapa baru sekarang? Karena ini ada hubungannya dengan relasi kuasa. Saat yang memegang kekuasaan melakukan tindakan pelecehan seksual, yang namanya karyawan pasti merasa trauma, ketakutan..." "Untuk membuat laporan, awalnya enggak berani. Karena mereka tahu siapa yang dihadapi. Orang yang berkuasa dan punya uang, sementara korban berpikir siapalah mereka?" Korban mengalami trauma Kedua korban mengalami trauma berat, kata Amanda. Akibat pelecehan seksual itu, korban pertama memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya. Secara psikis, korban pertama jadi menutup diri dan takut bersosialisasi dengan orang yang baru dikenal. Adapun korban kedua mengalami perubahan perilaku yakni sering bertengkar dengan sang suami. "Setelah didesak akhirnya cerita pada suaminya dan keluarganya marah, makanya melapor ke polisi. Mereka tidak terima." Sumber gambar, Getty Images Keterangan gambar, Sejumlah aktivis perempuan memegang spanduk bertuliskan "berantas kekerasan seksual? Pasti ada jalan!" Usai kejadian itu, korban secara mendadak didemosi ke kampus Pascasarjana Universitas Pancasila tanpa sepengetahuan atasannya, yakni Wakil Rektor IV karena pada waktu itu sedang menjalani operasi. Baik korban pertama dan kedua, ujarnya, telah menjalani tes psikologi forensik di RS Polri Kramat Jati, Jakarta Timur. Hasil pemeriksaan tersebut bakal menjadi salah satu alat bukti yang akan diberikan ke penyelidik. Para korban, kata Amanda, hanya ingin mendapatkan keadilan. Mereka tak mau ada korban pelecehan seksual lain di kampus tersebut. "Yang penting bagi korban keadilan segera diwujudkan. Mereka tidak mau hal itu terjadi lagi pada perempuan lain dengan mengatakan kepada saya, 'Mbak enggak apa-apa saya korbankan diri, aib saya dibuka.'" Rektor Edie membantah melecehkan korban Pada Senin (26/02), Rektor Universitas Pancasila, Edie Toet Hendratno sedianya memenuhi panggilan di Polda Metro Jaya untuk melakukan pemeriksaan terkait kasus dugaan pelecehan seksual kepada karyawannya. Tapi kuasa hukumnya, Raden Nanda Setiawan, mengatakan kliennya sedang berhalangan dan telah melakukan penyerahan surat permohonan penundaan pemeriksaan. Namun Rektor Edie telah berulang kali membantah telah melakukan pelecehan seksual kepada dua pekerjanya. "Berita tersebut kami pastikan didasarkan atas laporan yang tidak benar dan tidak pernah terjadi peristiwa yang dilaporkan," ujar Raden Nanda dalam keterangannya. Dia juga berkata setiap orang berhak untuk melapor. Tapi dia mengingatkan adanya konsekuensi hukum jika laporan itu fiktif. Raden menilai laporan tersebut janggal karena dilakukan di tengah proses pemilihan rektor baru. Kendati dia menyebut pihaknya menghormati proses hukum yang sedang berjalan. "Saat ini kami sedang mengikuti proses atas laporan tersebut. Kita percayakan kepada pihak kepolisian untuk memproses secara profesional," ucapnya. Sumber gambar, DETIK.COM Keterangan gambar, Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Ary Syam Indradi. Terdapat dua laporan terkait kasus dugaan pelecehan seksual di Universitas Pancasila. Korban pertama DF mengadukan kasusnya ke Bareskrim Polri pada 29 Januari 2024 dan korban kedua RZ melaporkan ke Polda Metro Jaya pada 12 Januari 2024. Akan tetapi karena kasusnya serupa, Bareskrim telah melimpahkan laporan dari korban pertama ke Polda Metro Jaya. Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Ary Syam Indradi, mengatakan polisi telah memeriksa delapan saksi dalam kasus ini, termasuk di antaranya korban. Adapun penyidik Subdit Renakta Ditreskrimum Polda Metro Jaya telah menerim surat permohonan penundaan pemeriksaan terhadap terduga pelaku. Pemeriksaan ulang akan dilakukan pada Kamis (29/02) mendatang. Rektor Universitas Pancasila bisa dipecat Aktivis perempuan yang juga aktif di Lembaga Partisipasi Perempuan, Adriana Venny, mengatakan dugaan pelecehan seksual yang terjadi di Universitas Pancasila disebut sebagai kasus pertama yang menjerat pejabat tertinggi di kampus. Tapi kalau merujuk pada catatan Kemendikbudristek per Juli 2023 disebutkan bahwa kasus kekerasan seksual terbanyak terjadi di perguruan tinggi dengan 65 kasus. Sementara angka kekerasan seksual di sekolah menengah 22 kasus dan sekolah dasar 28 kasus. Sumber gambar, Getty Images Keterangan gambar, Gerakan anti-kekerasan perempuan mengadakan protes terhadap pelecehan seksual dan kekerasan terhadap perempuan di kampus-kampus pada 10 Februari 2020. Yang jadi masalah, menurut Adriana, meskipun hampir semua perguruan tinggi negeri maupun swasta di Indonesia sudah memiliki Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) tapi kerjanya tidak cukup efektif. "Satgas PPKS belum diberi ruang yang memadai untuk bisa bekerja dengan optimal. Sosialisasi belum berjalan dengan menyeluruh karena yang perlu sosialisasi biasanya dilakukan untuk mahasiswa..." "Namun untuk pegawai, dosen dan pejabat kadang belum tersosialisasi." Padahal, kata dia, kalau Satgas PPKS dibuat optimal maka bisa melindungi tidak hanya mahasiswa, tapi seluruh pegawai yang bekerja di perguruan tinggi. "Jadi kasus pelecehan seksual di perguruan tinggi memang seperti gunung es yang korbannya lebih banyak yang tidak melapor karena malu dan takut tidak lulus." Sepanjang pengalamannya menjadi fasilitator nasional untuk membangun kapasitas Satgas PPKS di perguruan tinggi di seluruh Indonesia, dia menemukan bahwa karyawan universitas memiliki posisi tawar paling lemah. Kalau mengalami pelecehan seksual, kata Adriana, mereka takut melapor karena risiko dipecat dan kehilangan pekerjaan. Di sisi lain, sambung Adriana, kampus tidak merasa penting adanya Satgas PPKS karena dugaannya beberapa pejabat kampus bisa terkena dampaknya. Akibatnya Satgas PPKS tidak diberikan anggaran yang memadai untuk memiliki pos dan ruang pengaduan. Itu mengapa Mendikbudristek perlu mengingatkan seluruh rektor agar memberikan anggaran yang memadai untuk kerja-kerja Satgas PPKS sehingga kampus benar-benar merdeka dari kekerasan seksual. Sumber gambar, Getty Images Keterangan gambar, Sejumlah aktivis perempuan memegang plakat untuk mendukung Hari Perempuan Internasional. Begitu pula korban harus dikuatkan untuk melaporkan kekerasan seksual yang dialami di kampus, sehingga mendapatkan keadilan dan tidak ada lagi korban berikutnya. "Pelaku juga harus diberikan sanksi yang berat." "Untuk kasus Rektor Universitas Pancasila, Permendikbudristek bisa dijalankan paralel dengan proses hukum di kepolisian, jadi proses hukum berjalan, sanksi pemecatan juga bisa diberlakukan," paparnya. Aktivis perempuan, Damaira Pakpahan sependapat. Dia menilai kalau masih ada kasus pelecehan seksual yang terlambat ditangani maka harus dicek apakah Satgas PPKS yang ada di kampus-kampus diisi oleh orang-orang yang memiliki pengetahuan dan keberpihakan pada korban. "Kalau orang di satgas menganggap perempuan sebagai objek atau kelas dua, ya susah," tuturnya. Tapi lebih dari itu, dia berharap pihak Universitas Pancasila maupun Kemendikbudristek memercayai pengakuan korban. Sebab pada banyak kasus, tak banyak korban yang berani berbicara. Kampus dan Kemendikbudristek juga, sambungnya, harus mengungkap interaksi terduga pelaku dengan bawahannya selama ini. Apakah dikenal kerap menggunakan otoritas dan kewenangannya untuk mengintimidasi bawahannya atau tidak, kata Damaira. "Harus dicek sejauh mana rektor itu melakukan pelecehan? Pasti ada pembicaraan di kalangan alumni atau mahasiswa soal perilaku dia." Apa tanggapan Kemendikbudristek? Lewati Podcast dan lanjutkan membaca Investigasi: Skandal Adopsi Investigasi untuk menyibak tabir adopsi ilegal dari Indonesia ke Belanda di masa lalu Episode Akhir dari Podcast Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi di Kemendikbudristek, Nizam, mengatakan pihaknya sudah mengetahui kasus di Universitas Pancasila dari laporan masyarakat. Kasus ini, klaimnya sudah ditangani inspektorat jenderal Kemendikbudristek. Nizam mengatakan pihaknya akan menindaklanjuti peristiwa ini sesuai Permendikbudristek tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS). Selain itu pihaknya bakal melakukan investigasi bersama-sama bersama stakeholder terkait. "Biasanya bersama dengan LLDIKTI (Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi ) dan badan penyelenggara perguruan tingginya. Kepolisian ya sesuai dengan peraturan perundangan yang ada," ujar Nizam seperti dilansir Detik.com. Adapun seperti diberitakan Kompas.com, Sekretaris Yayasan Pendidikan dan Pembina Universitas Pancasila Yoga Satrio mengatakan, yayasan akan menyelenggarakan rapat pleno untuk membahas kasus tersebut sekaligus memutuskan status Edie.

Dilansir dari dan telah tayang di: https://www.bbc.com/indonesia/articles/cjeve2585y8o