Alasan Semua Komisiner KPU Diperiksa DKPP Hari ini
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) mengungkapkan alasan Ketua KPU Hasyim Asy'ari dan keenam anggotanya harus menjalani sidang pemeriksaan pada hari ini, Rabu (28/2).
Sekretaris DKPP David Yama menyatakan Hasyim dan keenam anggotanya yaitu Mochammad Afifuddin, Betty Epsilon Idroos, Parsadaan Harahap, Yulianto Sudrajat, Idham Holik, dan August Mellaz dilaporkan oleh seseorang bernama Rico Nurfiansyah Ali.
Rico saat ini menjabat sebagai Ketua Pemantau Pemilu di Jawa Timur, yaitu dari Jaringan Edukasi Pemilu untuk Rakyat.
"Dalam pokok aduannya, pengadu mendalilkan para teradu telah tidak akuntabel dan profesional karena adanya dugaan kebocoran data Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu Tahun 2024," kata David.
Sidang ini dimulai sekitar pukul 09.10 WIB. Namun, Hasyim dan rekan-rekannya belum hadir dalam sidang tersebut. Sebab, Hasyim harus membuka rekapitulasi penghitungan perolehan suara di Kantor KPU.
Ketua DKPP sekaligus ketua sidang Heddy Lugito membuka sidang dan mempersiapkan pihak pengadu dan terkait untuk memperkenalkan diri.
"Hari ini bersamaan dengan KPU menyelenggarakan rekapitulasi suara, oleh sebab itu para teradu meminta izin untuk datang terlambat di persidangan ini," kata Heddy. Setelah itu, sidang diskorsing untuk sementara hingga pihak teradu hadir.
Sidang kembali dilanjutkan sekitar pukul 11.00 WIB. Dalam sidang tersebut Rico sebagai pengadu mengungkapkan lebih lanjut alasannya menggugat semua komisioner KPU.
Rico mengaku membaca sejumlah pemberitaan terkait kasus dugaan kebocoran data Daftar Pemilih Tetap (DPT) milik KPU.
Ia mengutip pemberitaan CNNIndonesia.com yang memberitakan akun Jimbo di situs peretasan Breach Forums mengunggah dugaan bocoran data yang didapat dari situs KPU pada Senin (27/11) pukul 09.21 WIB. Akun ini menampilkan beberapa tangkapan layar dari situs pengecekan DPT, https://cekdptonline.kpu.go.id/.
Data yang dibobol diklaim berupa nama, Nomor Induk Kependudukan (NIK), tanggal lahir, hingga alamat. Pengunggah mengklaim memiliki lebih dari 250 juta (252.327.304) data. Ia menyediakan 500 ribu data sebagai sampel.
Sampel ini juga memuat data sejumlah pemilih yang berada di luar negeri. Penjahat siber ini menjual data tersebut dengan harga 2BTC atau US$74 ribu (Rp1,14 miliar).
Oleh sebab itu, dia berkesimpulan KPU telah melanggar akuntabel dan profesional.
"Teradu diduga kuat prinsip akuntabel sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Ayat 2 huruf b dan prinsip profesinalitas peraturan DKPP Nomor 17 tentang Kode Etik dan Penyelenggara Pemilu," ujarnya.